Demokrasi adalah sistem terburuk - di luar dari sistem yang pernah dicoba umat manusia. Begitulah pendapat Winston Churchill. Namun dengan segala kelemahannya tetap saja ia sistem yang paling menarik, yang paling dekat dengan fitrah manusia yang mendambakan kebebasan dalam hidup.
Demokrasi Indonesia sangat mahal dan terkadang konyol. Puluhan bahkan ratusan trilyun kita habiskan untuk pesta demokrasi dari mulai pilkada, pileg hingga pilres. Dengan menggunakan dana sebanyak ini, sama sekali tak ada jaminan bahwa kita akan berhasil membentuk pemerintahan yang dapat menyejahterakan rakyat. Tapi bagaimanapun itulah keputusan seluruh rakyat Indonesia. Keputusan ini harus kita jalankan, betapapun konyolnya.
Ketika kita sudah setengah jalan dalam rangkaian pileg dan pilpres, timbullah upaya yang mengejutkan dari pendukung Presiden SBY untuk mengajak rakyat mendukung gerakan pilpres 1 putaran. Alasannya agar biaya pemilu dapat dihemat, pemerintah bisa segera bekerja dan arah politik segera bisa dikonsolidasikan.
Ini benar-benar nonsens!
Pertama, kalau kita sudah sepakat dengan sistem yang ada, maka seharusnya tidak usah lagi diungkit-ungkit soal biaya.
Kedua, pilpres adalah sarana bagi rakyat untuk menentukan arah pemerintahan ke depan. Maka dari itu hal yang harus diperhatikan rakyat adalah visi misi seorang calon presiden atau hal apapun yang menyebabkan keyakinan rakyat terhadap salah satu calon. Jadi faktor yang penting adalah semua soal yang penting bagi rakyat di luar soal biaya pemilu.
Yang menyedihkan adalah bahwa yang mengajak rakyat berpikir untuk pilpres 1 putaran adalah seorang Denny JA yang pastinya pemahamannya soal demokrasi berada jauh di atas rata-rata rakyat Indonesia.
* * *
Ada cara yang lebih baik untuk menghemat biaya dalam pilpres. Ada teknik yang baik agar pemilihan bisa berlangsung cukup 1 putaran saja.
David Stanford menuliskan teknik yang memikat dan menghemat biaya ini pada Jakarta Post 2 April 2009. (http://www.thejakartapost.com/news/2009/04/02/a-preference-a-better-electoral-system.html). Teknik ini dinamakan Instant-Runoff Voting (IRV). Sistem ini telah digunakan di Australia dan Republik Irlandia.
Pada prinsipnya sistem ini akan memilih presiden sesuai preferensi. Misalnya no. 1 kita memilih SBY-Boediono, no. 2 kita pilih JK-Win, no. 3 kita pilih Mega Pro. Jadi pemilih harus menuliskan urutan preferensi pasangan capres. Ini sangat adil. Jika dalam contoh di atas, SBY-Boediono tidak lolos ke putaran kedua, maka kalaupun dilaksanakan putaran kedua orang tersebut akan memilih pasangan JK-Win. Bedanya kalau dengan sistem sekarang, pilihan kedua itu dilaksanakan pada putaran kedua, dengan sistem IRV, pilihan kedua cukup dilaksanakan pada putaran pertama.
Untuk lebih jelasnya cara penghitungan secara detail dapat dilihat pada http://www.aec.gov.au/Voting/counting/hor_count.htm.
Semangat pilpres 1 putaran untuk menghemat biaya itu adalah semangat yang baik. Cuma semangat itu harus diimplementasikan secara cerdas dan bermartabat. Tugas kita semua saya kira untuk memastikan bahwa sistem IRV ini dapat diterapkan melalui Undang-Undang sehingga bisa kita segera laksanakan pada pemilu mendatang.
Untuk Indonesia yang lebih baik, mudah-mudahan ini bisa dibaca anggota dewan yang akan membuat undang-undang.
* * * * *
No comments:
Post a Comment