Lelucon luar biasa yang dihasilkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2004 – 2009 adalah soal hilangnya ayat tentang tembakau dalam Undang-Undang Kesehatan. Benar-benar aneh bin ajaib, apalagi undang-undang itu telah dibahas dan disyahkan dalam rapat pleno.
Secara logika hampir tidak mungkin hilangnya ayat ini karena unsur ketidaksengajaan. Orang pantas curiga, karena penghilangan ayat tembakau sangat berkaitan dengan kepentingan industri rokok. Dengan adanya penegasan bahaya tembakau, maka ruang gerak industri rokok akan semakin terbatas.
Di era demokrasi, upaya mempengaruhi keputusan undang-undang adalah hal yang biasa. Sejak dari kampanye pemilihan calon anggota legislatif (caleg), yang akan membuat undang-undang, semua pihak yang berkepentingan dapat melakukan negosiasi. Caleg bisa merayu rakyat dan menebar janji, bahwa jika dia terpilih dia akan memperjuangkan ini, memperjuangkan itu. Sementara itu, kalangan industripun bisa mendanai kampanye caleg dengan pamrih ini, pamrih itu.
Ekonom kritis, pemenang Nobel, Joseph Stiglitz dalam bukunya, Making Globalization Work, mengungkapkan bahwa di Amerika Serikat (AS), industri memainkan peranan penting dalam mempengaruhi suatu kebijakan.
Dengan aturan hukum yang makin ketat, penyuapan oleh pihak industri secara langsung hampir tidak pernah dilakukan lagi. Penyuapan sudah digantikan dengan permainan cantik berupa kontribusi perusahaan dalam dana kampanye politik. Di AS perusahaan farmasi mengeluarkan USD 759 juta untuk mempengaruhi 1.400 keputusan kongres antara tahun 1998 hingga 2004. Industri farmasi juga merupakan ranking teratas dalam jumlah uang untuk lobi dan jumlah pelobi yg dipekerjaan, yaitu sekitar 3.000 orang.
Sebenarnya di Indonesia “permainan cantik” mempengaruhi undang-undang juga telah dilakukan. Undang-Undang Migas No 22 tahun 2001 yang sangat menguntungkan perusahaan minyak asing dan membuat Pertamina menjadi perusahaan kerdil sudah berhasil digolkan. Dengan undang-undang ini, Pertamina yang tadinya memegang kuasa pertambangan dari pemerintah, ditempatkan pada kedudukan yang sejajar dengan perusahaan asing.
Menurut penelusuran M Kholid Syeirazi dalam buku Di Bawah Bendera Asing: Liberalisasi Industri Migas di Indonesia, terciptanya UU Migas tak lepas dari lobi kapitalis-kapitalis minyak dunia. USAID sebagai perpanjangan tangan kepentingan asing itu, sangat terlibat dalam proses lolosnya RUU Migas ini dengan menggelontorkan dana USD 850 ribu kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan akademisi perguruan tinggi.
Demokrasi memang memungkinkan siapapun dipengaruhi atau mempengaruhi wakil rakyat demi suatu kepentingan, sepanjang tidak melanggar hukum. Semua lobi yang dilakukan dengan elegan, intelektual dan mengikuti semua prosedur yang berlaku adalah cara yang sah. Namun sayang sekali untuk kasus ayat tembakau yang hilang dalam UU Kesehatan sangat jauh dari kesan intelektual maupun etika. Cara menghilangkan ayat itu sangat kampungan dan alasan ketidaksengajaan sangat tidak masuk akal.
* * *
Selain masalah hilangnya ayat tembakau ini, sangat menarik pula memperhatikan perihal tembakau ini. Kebencian kita terhadap tembakau – yang diwujudkan hebohnya kehilangan ayat tembakau – mengandung suatu ironi.
Faisal Basri dalam bukunya Lanskap Ekonomi Indonesia, menyoroti betapa hebatnya pabrik rokok dalam berkontribusi melalui pajak dibandingkan dengan BUMN kita. Dividen yang diberikan BUMN, yang jumlahnya lebih dari 100, kepada negara masih kalah dibandingkan dengan kontribusi pajak dari empat perusahaan rokok. Sebagai gambaran, target dividen dari BUMN tahun 2008 adalah sekitar Rp. 31 trilyun, sementara pajak cukai dari cukai dan PPN dari pabrik rokok sebesar Rp. 57 trilyun.
Kita membenci tembakau, namun ternyata pabrik rokok, yang memanfaatkan tembakau, justru memberikan kontribusi besar bagi negara.
* * * * *
No comments:
Post a Comment