Tanggal 1 September lalu Kompas, menurunkan berita soal perangkap pangan (food trap) ini. Ada 7 komoditas pangan utama Indonesia, yaitu: 1. gandum, 2. kedelai, 3. daging ayam ras dan 4. telor ayam ras (posisi kritis) dan 5. jagung, 6. daging sapi, 7. susu (posisi patut diwaspadai), sangat tergantung tergantung impor dari luar negeri. Dan perusahaan multi nasional dari negara-negara maju menguasai sektor pertanian dari industri hulu sampai ke industri hilir. Tapi benarkah "food trap" itu ada?
Industri software terutama untuk aplikasi perkantoran dikuasai Microsoft. Mengapa kita tak pernah mempermasalahkan "software trap"? Industri prosesor komputer dikuasai Intel. Mengapa kita tidak pernah mempermasalahkan 'pocessor trap"? Begitu juga industri otomotif di Indonesia dikuasai Toyota, mengapa tak ada "otomotive trap"?
Soal istilah perangkap ini tidak bisa kita lakukan. Fenomena ini bisa terjadi, paling tidak, karena 2 hal, yaitu: 1. Keunggulan kompetensi, 2. Dampak Globalisasi.
Negara-negara maju yang sudah terbiasa dengan pola pikir kapitalisme yang sangat menekankan keunggulan bersaing menyebabkan perusahaan-perusahaan yang bertahan di sana memiliki keunggulan kompetensi tinggi. Kompetensi itu meliputi kemampuan manajemen perusahaan, kemampuan berinovasi, kemampuan memasarkan hasil produksi.
Di samping itu dengan berkembangnya teknologi dunia menjadi satu yang membuat batas negara bangsa menjadi semu. Fenomena globalisasi itu adalah hal yang tak terelakkan. Negara yang tidak merangkul globalisasi akan menjadi terbelakang dan ketinggalan. Dan negara yang sudah terlanjur ikut dalam globalisasi harus mencari cara untuk mengambil keuntungan - atas dasar keunggulan yang dimiliki - dari fenomena ini.
Kembali ke masalah "food trap", Indonesia harus segera mengambil manfaat fenomena ini. Ada 2 hal yang bisa dilakukan Indonesia dengan adanya kehadiran perusahan multi nasional ini, yaitu: 1. Mengambil manfaat bisnis, 2. Mengambil manfaat pendidikan.
Indonesia bisa mengambil manfaat bisnis melalui undangan investasi. Keunggulan kompetitif lahan produksi pangan di Indonesia harus dikuti dengan usaha membuat perusahaan multi nasional itu menanamkan investasinya terutama di industri hilir. Tentu saja bangsa ini bisa mengambil manfaat kehadiran industri di hilir itu. Industri itu akan menyerap tenaga kerja. Selain itu juga akan menghasilkan industri-industri pendukung untuk mendukung operasi industri utama. Usaha kita "cuma" membuat iklim investasi yang baik yang bisa mengundang investor itu mau menanamkan modalnya di sini.
Keunggulan kompetensi juga bisa diraih melalui kerja sama pendidikan. Untuk pertanian, perusahaan multi nasional itu juga mendirikan lembaga penelitian di negara yang bersangkutan, antara lain misalnya, untuk mendapatkan benih unggul yang sesuai dengan kondisi setempat. Tentu saja kita bisa membuat regulasi yang mengharuskan keterlibatan peneliti/universitas di Indonesia dalam kegiatan ini. Sebagai gambaran Pemerintah Cina telah melakukan hal ini. Pusat penelitian Microsoft di Cina bisa memberikan gelas pasca doktoral kepada ilmuan Cina.
Dengan kehadiran lembaga-lembaga penelitian kelas dunia ini, peneliti Indonesia bisa mengambil manfaat sistem kerja, etos kerja, teknik inovasi dan cara menghubungkan penelitian dengan produk yang dipasarkan.
Akhirnya,tidak ada yang disebut perangkap pangan (food trap), yang ada justru adalah kesempatan bangsa ini maju melalui pangan. Tak ada masalah sama sekali, yang ada justru peluang.
No comments:
Post a Comment