Sistem politik Indonesia yang rumit menyesatkan analisis hasil pemilihan umum (pemilu). Banyak analisis yang menyatakan Partai Demokrat – selaku partai utama pendukung pemerintah – yang memperoleh sekitar 20% suara populer dianggap sukses memenangkan pemilu. Padahal dari hasil pemilu sekarang, sebenarnya pemerintah yang berkuasa sudah kehilangan mandatnya!
Dalam demokrasi mandat pemerintahan diuji dalam pemilu. Dan dalam pemilu ini kebetulan posisi partai-partai papan atas sudah jelas.
Partai Demokrat adalah bayangan dari pemerintahan SBY. Jika rakyat memilih Partai Demokrat sudah bisa dipastikan ingin pemerintahan SBY berlanjut. PDIP sudah menjadi oposisi sejak lama. Jika rakyat memilih PDIP sudah pasti rakyat tersebut ingin pemerintahan berganti. Begitu pula dengan Partai Golkar. Secara informal JK sudah mencalonkan diri sebagai presiden. PAN dan PPP sudah bersilaturahmi dengan PDIP. Praktis cuma PKB dan PKS yang belum jelas, namun mereka juga tidak secara jelas mendukung pemerintahan yang sekarang.
Hasil pemilu adalah hanya sekitar 20% yang memilih Partai Demokrat. Jadi ada sekitar 80% pemilih yang tidak mendukung SBY dan Partai Demokrat. Atau dengan kata lain 80% rakyat menginginkan pemerintahan berubah. Ini berarti pemerintahan SBY tidak memiliki mandat yang cukup untuk melanjutkan pemerintahan. Dan kemenangan Partai Demokrat dalam pemilu ini adalah kemenangan semu. Mandat Partai Demokrat sebesar 20% itu adalah yang terbaik di antara jumlah-jumlah mandat yang buruk.
Memang untung bagi Partai Demokrat dan SBY bermain di keruwetan politik Indonesia. Pemerintah tidak kehilangan mandat, gara-gara suara 80% itu tidak berada di satu koordinasi koalisi.
Dan yang membingungkan dari pemilu ini adalah suara yang tadinya menentang sebanyak 80% bisa berubah komposisinya. Itu karena partai politik tidak memiliki identitas dan karakter yang jelas. Dalam suatu judul opini di Kompas ada kalimat yang tepat untuk menggambarkan fenomena ini, yaitu kalau sebelum pemilu ada massa mengambang, maka setelah pemilu ada partai mengambang.
Dan fenomena partai mengambang ini menyesatkan para pemilih. Katakanlah misalnya orang memilih Partai Golkar karena berdasarkan promosi JK yang menggambarkan dirinya lebih cepat dari SBY. Dari hasil pemilu sekarang, Partai Golkar bisa saja berubah pikiran dan berkoalisi dengan Partai Demokrat.
Lalu bagaimana nasib pemilih yang tadinya bermaksud memilih partai yang akan mendukung pemerintahan yang lebih cepat dibelokkan oleh elitnya sendiri untuk mendukung pemerintahan yang lebih lambat?
Dengan sistem politik yang tidak jelas ini kekuasaan untuk menentukan pemerintahan tidak berada di tangan rakyat, tapi berada di tangan elit politik. Pemilu yang bebas ini tidak banyak gunanya, karena akhirnya yang berkuasa adalah partai politik yang bisa seenaknya mengubah posisi politik.
* * *
Demokrasi adalah pertarungan ide mengurus negara dengan rakyat sebagai wasitnya. Dan hasil pertarungan itu harus sejalan dengan indikator dukungan politik. Kita belum memiliki aturan main yang tepat sebagai wadah pertarungan ide ini. Tapi kita bisa memulai memperbaiki aturan mainnya sekarang.
Fusi partai politik adalah hal pertama yang harus dilakukan. Tanpa fusi pertarungan politik di Indonesia akan terus berlangsung seperti sekarang ini, yaitu tidak jelas dan sangat membosankan.
Saya bermimpi politik di Indonesia hanya memiliki 2 kekuatan besar. Dan kondisi saat ini sudah ada 2 kekuatan besar yang terpolarisasi, yaitu: Partai Demokrat dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Pemimpin kedua partai ini – SBY dan Megawati – memiliki pengikut yang banyak dan kebetulan keduanya saling 'bermusuhan'. Dan secara kebetulan pula Partai Demokrat berwarna biru, PDIP berwarna merah mirip dengan warna kompetisi politik di Amerika Serikat. Ini adalah kondisi ideal untuk awal polarisasi politik di Indonesia.
Sementara kekuatan lainnya harus bergabung dengan 2 kekuatan besar ini melalui fusi partai politik. Bagi partai Islam, bisa dengan mudah menggabungkan diri sebagai sayap Islam bagi 2 kekuatan besar ini. Sangat memungkinkan PKB dan PPP sebagai sayap Islam dari PDIP, sementara PKS dan PBB sebagai sayap Islam dari Demokrat.
Fusi bukanlah hal baru dalam politik Indonesia. Partai Golkar adalah adalah gabungan sukarela dari berbagai organisasi yaitu SOKSI, MKGR dan Kosgoro. Bahkan – walaupun dipaksakan – PDIP dan PPP adalah fusi dari berbagai partai politik Islam.
Sekarang memang bukan jaman Pak Harto dimana semua bisa dipaksakan. Namun fusi di jaman demokrasi bisa dipaksakan dengan terus menaikkan ambang batas parlemen dan ambang batas pemilihan.
Akhirnya, sistem politik itu harus cantik, elegan dan yang terpenting tidak membuat pusing rakyat.
* * * * *
1 comment:
Jika memang Pileg tidak menggambarkan masyarakat yang menolak atau menerima SBY, maka itu mungkin bisa ditutupi di Pilpres.
Post a Comment