Mengapa sosialisme cocok di Amerika Latin, sementara liberalisme sangat cocok di Amerika Serikat (AS)? Mengapa orang Jepang berhasil dalam produksi mobil, tapi tidak bisa menciptakan Microsoft dan Google? Mengapa Cina berhasil dengan sistem politik diktator satu partai dan pengembangan industri dengan kebijakan kawasan ekonomi khusus? Mengapa Singapura dengan pemerintahan diktator cerdas adalah negara yang paling inovatif di dunia?
Jawabannya adalah kegiatan politik dan ekonomi yang dikembangkan cocok dengan karakter budaya bangsa tersebut. Culture does matter!
Adalah Geert Hofstede pahlawan dari semua pengetahuan ini. Dia melakukan riset perbedaan budaya di kantor cabang IBM di 64 negara. Kemudian riset ini pada pelajar di 23 negara, pada kelompok atas di 19 negara, pada pilot di 23 negara dan pada konsumen kelas atas di 15 negara.
Hasilnya adalah 5 dimensi budaya, yaitu:
1. Power Distance/Jarak Kekuasaan menyangkut tingkat kesetaraan masyarakat dalam kekuasaan. Jarak kekuasaan yang kecil menunjukkan masyarakat yang setara. Semua pihak kekuataanya relatif sama.
2. Individualism/Individualisme vs Collectivism/Kolektivisme menyangkut ikatan sosial di masyarakat. Pada masyarakat yang individual setiap pihak diharapkan mengurus dirinya sendiri dan keluarganya secara mandiri.
3. Masculinity/Maskulin vs Femininity/Feminin yang menyangkut perbedaan gaya antara 2 jenis kelamin. Pada budaya maskulin yang ditonjolkan adalah ketegasan dan kompetitif, sedangkan pada wanita adalah kesopanan dan perhatian.
4. Uncertainty Avoidance/ Penghindaran Ketidakpastian yang menunjukkan rasa nyaman suatu budaya terhadap ketidakpastian.
5. Long-term Orientation/ Orientasi Jangka Panjang menyangkut pola pikir masyarakat. Pada masyarakat yang beorientasi jangka panjang yang ditonjolkan adalah sikap hemat dan ketekunan.
* * *
Sosialisme cocok dengan masyarakat Amerika Latin, karena masyarakat di sana memang lebih menyukai kerja kolektif. Dari ukuran indeks individualisme kebanyakan negara Amerika Latin menempati posisi terbawah. Ini sangat kontras dengan Amerika Serikat (AS) yang berada di posisi teratas dalam hal individualisme.
Jepang adalah negara paling maskulin yang sangat cocok untuk iklim bisnis yang kompetisi dan efisien. Maka tak heran Toyota akhirnya berhasil mengalahkan raksasa-raksasa industri mobil AS. Namun bangsa Jepang tidak menyukai ketidakpastian, maka dari itu tidak cocok untuk melakukan inovasi dasar. Sementara bangsa AS menyukai ketidakpastian, maka dari itu inovasi-inovasi hebat berasal dari AS. Google dan Microsoft hanya cocok tumbuh di AS. Dan bangsa yang paling tinggi menyukai ketidakpastian adalah Singapura. Dan hasilnya sekarang Singapura adalah negara yang paling inovatif di dunia.
Negara-negara Asia cenderung memiliki indeks jarak kekuasaan yang tinggi, maka dari itu pemerintahan yang berpusat pada seorang tokoh sangat cocok di negara-negara ini. Sistem pemerintahan yang cocok adalah sistem yang memberi kekuasaan yang besar kepada seorang tokoh. Ketika masyarakat yang memiliki budaya yang tidak setara, maka pemberian tanggung jawab menjadi tidak cocok. Budaya yang berlaku di sini adalah budaya menerima petunjuk.
Cina dan Singapura adalah negara yang gampang menerima ketidakpastian, maka kedua negara memiliki potensi untuk melakukan inovasi dasar. Toh Cina menemukan banyak hal di jaman kuno seperti kertas, mesiu dan kompas. Namun inovasi saat ini tidak mungkin dilakukan individu secara sendirian. Inovasi adalah pertemuan-pertemuan orang-orang cerdas dan riset-riset terdepan. Bill Gates tak akan bisa menciptakan Microsoft jika perangkat keras komputer pribadi tidak ditemukan.
Singapura bisa menjadi negara paling inovatif di dunia karena negara ini sejak lama terbuka dalam pergaulan dengan bangsa-bangsa lain, sementara Cina sudah lama menutup diri. Maka dari itu ketika Cina dibuka oleh Deng Xiaoping, kawasan ekonomi khusus diciptakan, investasi asing masuk, ekonomi Cina langsung bergerak. Dan hampir dipastikan Cina akan berhasil membuat inovasi-inovasi baru setelah pengetahuan dari Barat berhasil disadap. Saat ini Pemerintah Cina mengijinkan Microsoft mengeluarkan sertifikat keahlian bagi ilmuan-ilmuan Cina.
Faktor budaya juga bisa menjelaskan mengapa bisnis AS sangat rentan mengalami krisis. Bisnis AS cenderung mengalami krisis, karena faktor budaya bisnis di sana. Survei yang dilakukan antara tahun 1995 – 2002 di 17 negara, pemimpin bisnis di AS dinilai oleh junior manajernya di 16 negara yang lain sebagai orang yang mengejar: (i) pertumbuhan bisnis, (ii) kekayaan pribadi, (iii) keuntungan tahun ini dan (iv) kekuasaan. Intinya pemimpin bisnis AS berorientasi jangka pendek.
* * *
Pembangunan politik dan ekonomi Indonesia seharusnya memperhatikan aspek budaya.
Politik Indonesia boleh sombong dengan demokrasi yang melibatkan banyak partai politik, tapi esensi pelaksanaannya tetap saja menggelikan. Toh akhirnya yang berpengaruh adalah ketokohan. Orang tidak memilih partai dengan program terbagus, tapi tokoh yang dianggap dapat mengayomi. Ini adalah cermin budaya masyarakat yang tidak setara, masyarakat dengan indeks jarak kekuasan yang besar. Untuk mendapatkan hasil terbaik politik Indonesia sebaiknya belajar dari politik Cina dan Singapura.
Ekonomi Indonesia sebaiknya saat ini tidak usah terlalu berfokus pada industri besar yang menuntut delegasi wewenang kepada banyak pihak, karena budaya Indonesia yang cenderung minta petunjuk. Sebagai gantinya industri besar itu sebaiknya diberikan bagi pemain-pemain asing dengan menyediakan kawasan ekonomi khusus seperti yang dilakukan Cina. Bangsa Indonesia sebaiknya belajar dulu dari praktek terbaik dari berbagai bangsa. Pengembangan industri seperti Toyota Kijang mungkin merupakan praktek yang lebih baik daripada mengembangkan mobil nasional sendiri.
Saya tidak tahu apakah budaya bisa diubah atau tidak. Mungkin bisa, namun perubahan itu tidak mungkin dilakukan secara cepat. Jadi sebaiknya gerak langkah politik dan ekonomi kita yang menyesuaikan diri dengan faktor budaya yang berlaku saat ini.
* * * * *
No comments:
Post a Comment