Demokrasi Indonesia harus dikawal dengan ketat. Waktu sepuluh tahun adalah waktu yang cukup untuk belajar demokrasi. Demokrasi harus segera menghasilkan kesejahteraan rakyat.
Sasaran proses politik di Indonesia sebaiknya sebagai berikut: (i) jumlah partai sedikit, (ii) sistem politik yang tidak rumit namun efektif, dan (iii) biaya politik harus semurah mungkin.
Masalah Jumlah Partai
Politik akan efektif jika jumlahnya sedikit, namun aliran politiknya memiliki perbedaan yang jelas. Rakyat juga akan mudah menetukan preferensi partai politiknya.
Bandingkan saja pemilihan di Amerika Serikat (AS) dengan Indonesia. Di AS yang dipilih hanya 2 partai dengan perbedaan kebijakan yang jelas. Di Indonesia ada banyak partai, namun apakah anda bisa membedakan kebijakan dan ideologi yang jelas antara Partai Demokrat, Golkar, PPP, PDIP dll?
Sesungguhnya sudah ada upaya perbaikan untuk membatasi jumlah partai. Namun sayangnya seperti yang dikemukakan Eep Saifullah Fatah yang menulis di Kompas (18/11/2008) bahwa kebijakan untuk membatasi jumlah partai belum koheren.
UU Pemilihan Presiden 2008 menyatakan partai atau gabungan partai hanya bisa mengajukan calon jika mendapat 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional. Dan untuk mendapat kursi di Senayan ambang batas legislatif (parliamentary threshold) adalah 2.5 %. Upaya ini sesungguhnya sudah sangat bagus untuk membatasi jumlah partai.
Namun upaya ini tidak koheren dengan undang-undang lain. Ambang batas pemilihan (electoral threshold) yang dibuat utk Pemilu 2004 sebesar 3% dibatalkan, sehingga partai gurem tetap bisa maju terus di pemilu 2009. Sementara itu UU Pemerintahan Daerah 2004 yang masih berlaku menyatakan partai yang tak punya kursi di DPRD tetap diperbolehkan menggabungkan suara untuk mengajukan kandidat kepala daerah.
Semua ini akan mengakibatkan orang tetap tergiur untuk mendidirikan partai karena walaupun bersuara minimal, suara partai gurem ini masih ada harganya dan bisa dijual.
Sistem Politik dan Biaya
Bangsa Indonesia adalah penggemar kerumitan. Politik dan sistem pemilu Indonesia adalah yang paling rumit di dunia. Kerumitan ini selain tidak efisien juga cenderung tidak efektif.
Salah satu contoh politik yang tidak efektif dan efisien adalah pelaksanaan otonomi daerah pada tingkat kabupaten. Sementara provinsi yang membawahi kabupaten masih tetap ada.
Pakar otonomi daerah Ryaas Rasyid mengungkapkan ketidakjelasan peran gubernur. Di satu pihak gubernur adalah wakil pemerintah di provinsi, namun pada kenyataannya gubernur dipilih langsung oleh rakyat.
Selain itu terjadi tumpang tindih pelaksanaan pembangunan di provinsi yang di dalamnya terdapat kabupaten/kota otonom. Baik gubernur maupun bupati/walikota memiliki dinas teknis yang sama dan pada wilayah yang sama. Akibatnya kebijakan pembangunan tidak koheren karena masing-masing daerah memiliki visi misi sendiri-sendiri dengan wewenang yang kuat. Penulis pernah mendapatkan informasi langsung dari aparat di Departemen Kelautan dan Perikanan, bahwa ada provinsi yang mengadakan barang untuk suatu kabupaten, sementara kabupaten sendiri kebingungan, karena merasa tidak memiliki program yang terkait dengan pengadaan barang tersebut.
Otonomi di tingkat kabupaten ini menghasilkan banyak pemilihan kepala daerah (pilkada). Saat ini daerah otonomi meliputi 33 provinsi ditambah 349 kabupaten dan 91 kota. Dan semua pemimpin wilayah otonomi ini dipilih secara langsung. Maka bisa dibayangkan kebutuhan biaya untuk menyelenggarakan pilkada ini.
Biaya Pemilu 2009 sebesar Rp. 47.9 trilyun. Biaya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jawa Timur lebih dari Rp 830 miliar. Pilkada DKI Jakarta Agustus 2007 menghabiskan dana Rp 194 miliar. Pilkada di Jawa Barat dan Jawa Tengah juga menelan biaya kurang dari Rp 500 miliar.
Sekedar gambaran perbandingan, realisasi anggaran belanja negara yang dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) sebesar Rp 41,6 triliun dalam tahun 2008. Realisasi anggaran belanja yang dikelola oleh Departemen Kesehatan sebesar Rp16,9 triliun dalam tahun 2008.
Solusi untuk Politik Efektif dan Efisien
Pertama, jumlah partai politik harus dibuat sekecil mungkin dengan menaikan terus ambang batas legislatif maupun ambang batas pemilu. Pengurus partai gurem yang telah gagal mendapatkan dukungan rakyat dilarang untuk membentuk partai baru kecuali bergabung dengan partai besar. Kenaikan ambang batas ini dilaksanakan secara bertahap setiap pemilu sampai diperoleh maksimal 5 (lima) partai politik.
Kedua, otonomi dilaksanakan di tingkat provinsi, bukan di tingkat kabupaten/ kota. Pilkada hanya dilakukan untuk memilih gubernur. Provinsi harus memiliki wilayah yang besar, jumlah penduduk yang cukup sehingga kebijakan gubernur bisa berdampak nyata.
Dengan jumlah pilkada yang lebih sedikit, maka ongkos demokrasi juga akan lebih murah.
Ketiga, salah satu yang menjengkelkan – dan menghabiskan biaya – dari pemilihan presiden adalah pelaksanaannya 2 kali untuk mendapatkan suara mayoritas.
David Stanford menulis pada Jakarta Post (2/4/2009) usulan sistem preferensi dalam pemilihan presiden (pilpres). Dengan sistem preferensi yang disebut Instant-Runoff Voting (IRV) ini pilpres cukup dilaksanakan 1 kali. Sistem ini sudah dilaksanakan dalam pemilihan presiden Irlandia dan anggota parlemen Australia.
Pada sistem ini pemilih akan mengurutkan presiden sesuai dengan urutan preferensinya. Calon dengan jumlah preferensi urutan pertama yang paling rendah akan disingkirkan dari perhitungan dan jumlah suaranya akan akan dilimpahkan pada calon lainnya sesuai dengan jumlah preferensinya. Calon dengan suara terendah berikutnya akan disingkirkan dan suaranya dilimpahkan, begitu seterusnya sampai mendapatkan suara mayoritas.
Akhirnya, kita memaklumi upaya bangsa ini dalam bereksperimen dengan demokrasi. Untuk itu perbaikan sistem harus terus menerus dilakukan dan kritik terhadap sistem harus terus menerus dilancarkan. Karena demokrasi bukanlah mantra.
* * * * *
2 comments:
Bung Erwin, setuju sekali.
Politik Indonesia terlalu rumit. Inilah sebab kenapa saya jarang sekali mengamati politik Indonesia. Amerika yang memiliki sejarah panjang demokrasi itu malah lebih simpel politiknya, enak diamati dan secara intelektual menyegarkan.
Saya sempat menulis soal rumitnya politik Indonesia di blog saya: http://bimotejo.blogspot.com/2008/10/susahnya-memahami-politik-indonesia.html
Bimo
Sistem IRV juga cocok karena, biasanya, itu menyebabkan penurunan jumlah parpol2. IRV biasanya menkuatkan 2-3 partai/aliran.
Naskah anda bagus Pak Erwin.
Post a Comment