“50 tahun lalu, Perdana Menteri Soviet, Nikita Kruschev berjanji kepada bangsa Amerika: ‘We will bury you’. Sekarang Al Qaeda mengancam: ‘We will bankrupt you.’”
(Pakar terorisme, Bruce Hoffman menulis di The Washington Post)
Sukseskah politik luar negeri Amerika Serikat (AS) yang bergaya Rambo? Apakah dengan menyerang negara-negara Islam – sebagai sarang teroris – akan menyelesaikan semua persoalan keamanan AS? Bagaimana pengaruh perang ini terhadap ekonomi AS?
Setelah serangan dengan pesawat terbang yang mematikan tanggal 11 September 2001, pada hari Natal 2009 hampir saja AS kebobolan dengan lolosnya warga Nigeria, Umar Farouk Abdulmutallab – anak seorang banker Nigeria yang kaya raya – yang berupaya meledakkan pesawat tujuan Detroit, AS. Untung saja bomnya macet, sehingga serangan ini gagal.
Namun AS tetap saja menjadi target utama pemboman. Secara spektakuler teroris baru saja berhasil membobolkan markas CIA di Khost, Afghanistan. Tanggal 30 Desember 2009, Humam Khalil Abu-Mulal al-Balawi, yang rencananya akan direkrut untuk menyusup ke Al Qaeda, meledakkan dirinya yang membunuh agen-agen CIA dan agen Dinas Rahasia Yordania.
Terlepas dari lalainya pihak keamanan AS sendiri, sangat terlihat AS tetap merupakan target utama serangan teroris. Serangan-serangan itu makin variatif dan melibatkan orang yang berpendidikan tinggi, Umar Farouk Abdulmutallab adalah mahasiswa Nigeria yang berpendidikan Barat dan Humam Khalil Abu-Mulal al-Balawi adalah seorang dokter dari Yordania.
Semua ini bukanlah serangan yang terakhir. Dapat dipastikan akan menyusul variasi serangan-serangan yang mematikan terhadap AS.
* * *
Salahkah kebijakan luar negeri AS yang ofensif menduduki beberapa negara Muslim?
Dari satu sisi, kebijakan ini sangat salah. Seorang jurnalis terkenal AS, Thomas Friedman, membagi globalisasi menjadi 3 tahap sesuai dengan jaman. Globalisasi 1.0 adalah ketika negara berperan. Terjadilah imperialisme oleh negara. Globalisasi 2.0 adalah ketika perusahaan multi nasional yang berperan. Terjadilah imperialisme ekonomi oleh perusahaan. Kemudian datanglah masa Globalisasi 3.0, ketika yang paling berkuasa adalah individu.
Dengan berkuasanya individu, maka kebijakan luar negeri melawan teroris yang konvensional – menginvasi suatu negara – tidak bisa otomatis menghasilkan penaklukkan total seperti yang diharapkan. Teroris telah bergerak melalui struktur individu, bukan lagi negara. Lawan dari pemerintah AS sekarang adalah individu, bukan lagi negara. Teroris telah bergerak dalam sel-sel yang bahkan tidak saling mengenal namun dengan tujuan tunggal, menghancurkan kafir AS. Jadi percuma saja AS menduduki Irak dan Afghanistan, karena terorisme mempunyai jaringan dan merekrut orang dari seluruh dunia.
* * *
Berhargakah perang dengan militan Muslim ini bagi ekonomi AS?
Bagi pembuat senjata AS, perang ini memang menghasilkan keuntungan yang luar biasa. Selain menjamin permintaan senjata, dari perang ini pula, mereka bisa menjual pesawat yang “combat proven” sebagai jaminan mutu bahwa pesawat itu telah sukses dalam pertempuran.
Sayangnya ditinjau dari ekonomi secara luas perang AS ini justru merugikan. Biaya perang yang sangat besar ini akan membuat uang rakyat AS berkurang untuk mengembalikan keunggulan daya saing AS terhadap bangsa lain. Memerangi Al Qaeda berarti mengurangi dana untuk mengembalikan kejayaan industri otomotif AS yang terus menurun ataupun membantu inovasi teknologi baru.
Terlebih lagi dari perang-perang ini, secara cerdik Cina – pesaing utama yang akan yang diramalkan akan mengalahkan AS – justru mengambil banyak manfaat.
Baru-baru ini sebuah BUMN Cina, China Metallurgical Group Corporation, memenangkan tender penambangan tembaga di Afghanistan. Deposit pada tambang ini merupakan salah satu yang terbesar di dunia. Dan dalam pelaksanaannya nanti, tambang ini akan dilindungi Polisi Nasional Afghanistan yang dilatih dan dibiayai oleh AS. Di Irak, tempat AS menghabiskan milyaran dolar untuk peluru dan mesiu, Cina ternyata melakukan investasi yang lebih besar daripada perusahaan-perusahaan AS untuk penyulingan minyak Irak.
Cina mengambil manfaat ekonomi dari semua peristiwa dunia tanpa sebutir pelurupun yang meletus dari senjata tentara Cina. Dengan semua ini muncullah berbagai sindiran bahwa AS berperang untuk mengamankan kepentingan ekonomi Cina. Dan Cina memperoleh nama harum karena kepentingan Cina hanya semata masalah ekonomi yang menguntungkan kedua negara, sementara AS mendapat stigma buruk sebagai negara yang suka berperang dan menginvasi negara lain. Jika ini tren terus berlanjut maka Cina akan segera dapat menggeser AS sebagai negara adidaya lebih cepat daripada jadwal semula.
Namun bagaimanapun, AS adalah negara besar yang telah menyumbang banyak bagi peradaban manusia. Kita harap AS dapat meninjau ulang kebijakan luar negerinya – meninggalkan politik luar negeri bergaya Rambo – dan menjadi negara pelopor dalam menciptakan dunia yang lebih baik.
* * * * *