Tuesday, April 28, 2009

Resep Ekonom

Seorang ekonom itu seperti dokter. Dokter mendiagnosis penyakit, ekonom mendiagnosis masalah ekonomi. Setelah diagnosis, baik ekonom maupun dokter memberikan resep. Jika resep sesuai pasien sembuh, jika tidak sesuai pasien mati. Begitu pula ekonom, jika resep ekonominya tak manjur, suatu negara bisa masuk jurang krisis yang lebih dalam.

Baru-baru ini terjadi polemik antar ekonom Jepang versus ekonom Amerika Serikat (AS) tentang bagaimana mengatasi krisis ekonomi dunia. Keiichiro Kobayashi versus Paul Krugman.

Bagaikan koor satu suara ekonom negara-negara barat yang mengalami krisis menganjurkan pendekatan kebijakan fiskal yang meliputi pembangunan infrastruktur publik, keringanan pajak, penciptaaan lapangan kerja oleh pemerintah, dll.

Semua resep ini diturunkan dari resep Keynes. Ketika keadaan krisis, kegiatan ekonomi menurun karena permintaan yang menurun. Untuk itu mengatasi hal ini, permintaan perlu dibangkitkan dan pemerintahlah yang cocok sebagai motor penggeraknya.

Apakah krisis yang berlangsung saat ini cukup diatasi dengan stimulus fiskal?

Keiichiro Kobayashi, ekonom Jepang, yang memberikan resep baru yang berbeda dari resep ekonom barat yang semata mengandalkan stimulus fiskal.

Argumennya adalah krisis saat ini disebabkan utang yang tidak terselesaikan (bad debt). Utang ini akibat gelembung ekonomi AS yang dihembuskan oleh 2 (dua) sektor, yaitu teknologi informasi dan perumahan. Dampak dari meletusnya gelembung ekonomi sampai sekarang masih belum terselesaikan yang meninggalkan warisan berupa aset-aset yang tak menghasilkan (nonperforming asset) yang masih mengendap di bank-bank AS dan Eropa. Menurut Kobayashi krisis tak dapat diselesaikan sebelum semua masalah utang ini diselesaikan. Stimulus fiskal hanyalah penyembuhan sesaat yang hanya akan bertahan beberapa tahun. Setelah stimulus ini tidak ada, AS dan Eropa akan kembali mengalami krisis lagi.

Kobayashi memberikan suatu resep berdasarkan pengalaman Jepang. Jepang pernah mengalami krisis serupa di tahun 1990an. Pemerintah Jepang juga melakukan hal yang sama dengan upaya yang dilakukan para pemimpin dunia saat ini, yaitu dengan resep stimulus fiskal. Dengan resep ini ekonomi Jepang tidak menunjukkan gejala perbaikan. Baru setelah pemerintah Jepang membuat 2 (dua) lembaga, yaitu: Resolution and Collection Corp. (RCC) dan Industrial Revitalization Corp. of Japan (IRCJ) yang dibentuk untuk membereskan masalah utang dan merestrukturisasi perusahaan peminjam yang hampir bangkrut, baru ekonomi Jepang bisa bergerak.

Penyelesaian masalah utang akibat pecahnya gelembung ekonomi ini sangat tidak mudah dan membutuhkan waktu dan tenaga yang sangat besar. Inilah yang menyebabkan kritik ekonom barat yang menganggap penyelesaian krisis ekonomi tahun 1990 an di Jepang berjalan begitu lama. Tentu saja penyelesaian masalah utang di AS dan Eropa dalam krisis ini akan lebih lama lagi karena begitu tersebarnya masalah yang melibatkan berbagai lembaga keuangan yang tersebar di seluruh dunia.

Apakah resep ekonom Asia ini diterima begitu saja? Tentu tidak. Paul Krugman pemenang Nobel 2008 langsung menyanggahnya. Krugman menunjukkan grafik bahwa pemulihan ekonomi Jepang tahun 2003 – 2007 disebabkan oleh ekspor yang pada gilirannya berperan meningkatkan konsumsi. Lalu apa peranan bank dalam pemulihan ini?

Sanggahan ini langsung dijawab dengan kontan Kobayashi, kalau semata soal ekpor berperan dalam pemulihan ekonomi Jepang, lalu mengapa kejadian ini tidak terjadi pada akhir tahun 1990 dimana dua mitra dagang Jepang yaitu AS dan Cina mengalami pertumbuhan yang cepat dan permintaan barang Jepang dari kedua negara ini juga besar. Setelah masalah pemindahan aset-aset beracun beres, barulah Jepang bisa meningkatkan ekspornya lagi. Maka faktor utama adalah penyelesaian masalah utang dan pemindahan aset beracun peninggalan pasca meletusnya gelembung ekonomi.

Krugman menjawab kembali Kobayashi dengan menyajikan tabel data sumbangan investasi – sebagai wujud sembuhnya sektor perbankan – terdapat Produk Domestik Bruto (GDP) dan neraca perdagangan – sebagai wujud kinerja ekspor – dari tahun 1992 - 2007. Dari grafik itu terbukti bahwa peran investasi terus menurun, sementara peran ekspor meningkat. Adapun Krugman ingin ditunjukkan dengan data bahwa di tahun 1990, Jepang tidak bisa memanfaatkan peluang ekspor karena perusahaan kesulitan mendapatkan kredit dari bank. Dan sampai tulisan ini dibuat, belum ada jawaban dari Kobayashi.

* * *

Polemik antar ekonom ini adalah penegasan, ekonomi sama sekali bukan sekedar hitungan matematika. Kebijakan ekonomi apalagi untuk menghadapi krisis bukanlah perumusan yang mudah. Ada terlalu banyak faktor terkait yang kompleks yang harus dicermati untuk membuat resep. Makanya tidak berlebihan kalau dikatakan ilmu ekonomi telah mati, karena banyaknya teori yang ada tidak memadai lagi untuk menghadapi tantangan masa kini.

Kobayashi belum tentu benar, begitu juga dengan Krugman. Tapi yang penting dicatat Kobayashi memberikan analisis terhadap suatu kebijakan yang baru akan atau sedang dilaksanakan di tahap awal, bukan analisis suatu yang telah terjadi. Dan Kobayashi berani memberikan resep baru yang menantang.

Indonesia telah mengalami pengalaman pahit dengan menerima resep IMF bulat-bulat. Boro-boro sembuh, justru krisis tambah tak terkendali dan malah Pak Harto sebagai pasien terjungkal dari kekuasaannya. Kita sangat membutuhkan ekonom-ekonom dengan resep brilian ditunjang dengan analisis yang kuat yang mungkin berbeda dengan arus utama resep ekonom barat.

* * * * *

Bahan-bahan:

1. http://www.voxeu.org/index.php?q=node/3385
2. http://krugman.blogs.nytimes.com/2009/04/02/japans-recovery/
3. http://www.asahi.com/english/Herald-asahi/TKY200904220066.html
4. http://krugman.blogs.nytimes.com/2009/04/27/japans-recovery-again/

Wednesday, April 22, 2009

Budaya Berpengaruh!

Mengapa sosialisme cocok di Amerika Latin, sementara liberalisme sangat cocok di Amerika Serikat (AS)? Mengapa orang Jepang berhasil dalam produksi mobil, tapi tidak bisa menciptakan Microsoft dan Google? Mengapa Cina berhasil dengan sistem politik diktator satu partai dan pengembangan industri dengan kebijakan kawasan ekonomi khusus? Mengapa Singapura dengan pemerintahan diktator cerdas adalah negara yang paling inovatif di dunia?

Jawabannya adalah kegiatan politik dan ekonomi yang dikembangkan cocok dengan karakter budaya bangsa tersebut. Culture does matter!

Adalah Geert Hofstede pahlawan dari semua pengetahuan ini. Dia melakukan riset perbedaan budaya di kantor cabang IBM di 64 negara. Kemudian riset ini pada pelajar di 23 negara, pada kelompok atas di 19 negara, pada pilot di 23 negara dan pada konsumen kelas atas di 15 negara.

Hasilnya adalah 5 dimensi budaya, yaitu:

1. Power Distance/Jarak Kekuasaan menyangkut tingkat kesetaraan masyarakat dalam kekuasaan. Jarak kekuasaan yang kecil menunjukkan masyarakat yang setara. Semua pihak kekuataanya relatif sama.

2. Individualism/Individualisme vs Collectivism/Kolektivisme menyangkut ikatan sosial di masyarakat. Pada masyarakat yang individual setiap pihak diharapkan mengurus dirinya sendiri dan keluarganya secara mandiri.

3. Masculinity/Maskulin vs Femininity/Feminin yang menyangkut perbedaan gaya antara 2 jenis kelamin. Pada budaya maskulin yang ditonjolkan adalah ketegasan dan kompetitif, sedangkan pada wanita adalah kesopanan dan perhatian.

4. Uncertainty Avoidance/ Penghindaran Ketidakpastian yang menunjukkan rasa nyaman suatu budaya terhadap ketidakpastian.

5. Long-term Orientation/ Orientasi Jangka Panjang menyangkut pola pikir masyarakat. Pada masyarakat yang beorientasi jangka panjang yang ditonjolkan adalah sikap hemat dan ketekunan.

* * *

Sosialisme cocok dengan masyarakat Amerika Latin, karena masyarakat di sana memang lebih menyukai kerja kolektif. Dari ukuran indeks individualisme kebanyakan negara Amerika Latin menempati posisi terbawah. Ini sangat kontras dengan Amerika Serikat (AS) yang berada di posisi teratas dalam hal individualisme.

Jepang adalah negara paling maskulin yang sangat cocok untuk iklim bisnis yang kompetisi dan efisien. Maka tak heran Toyota akhirnya berhasil mengalahkan raksasa-raksasa industri mobil AS. Namun bangsa Jepang tidak menyukai ketidakpastian, maka dari itu tidak cocok untuk melakukan inovasi dasar. Sementara bangsa AS menyukai ketidakpastian, maka dari itu inovasi-inovasi hebat berasal dari AS. Google dan Microsoft hanya cocok tumbuh di AS. Dan bangsa yang paling tinggi menyukai ketidakpastian adalah Singapura. Dan hasilnya sekarang Singapura adalah negara yang paling inovatif di dunia.

Negara-negara Asia cenderung memiliki indeks jarak kekuasaan yang tinggi, maka dari itu pemerintahan yang berpusat pada seorang tokoh sangat cocok di negara-negara ini. Sistem pemerintahan yang cocok adalah sistem yang memberi kekuasaan yang besar kepada seorang tokoh. Ketika masyarakat yang memiliki budaya yang tidak setara, maka pemberian tanggung jawab menjadi tidak cocok. Budaya yang berlaku di sini adalah budaya menerima petunjuk.

Cina dan Singapura adalah negara yang gampang menerima ketidakpastian, maka kedua negara memiliki potensi untuk melakukan inovasi dasar. Toh Cina menemukan banyak hal di jaman kuno seperti kertas, mesiu dan kompas. Namun inovasi saat ini tidak mungkin dilakukan individu secara sendirian. Inovasi adalah pertemuan-pertemuan orang-orang cerdas dan riset-riset terdepan. Bill Gates tak akan bisa menciptakan Microsoft jika perangkat keras komputer pribadi tidak ditemukan.

Singapura bisa menjadi negara paling inovatif di dunia karena negara ini sejak lama terbuka dalam pergaulan dengan bangsa-bangsa lain, sementara Cina sudah lama menutup diri. Maka dari itu ketika Cina dibuka oleh Deng Xiaoping, kawasan ekonomi khusus diciptakan, investasi asing masuk, ekonomi Cina langsung bergerak. Dan hampir dipastikan Cina akan berhasil membuat inovasi-inovasi baru setelah pengetahuan dari Barat berhasil disadap. Saat ini Pemerintah Cina mengijinkan Microsoft mengeluarkan sertifikat keahlian bagi ilmuan-ilmuan Cina.

Faktor budaya juga bisa menjelaskan mengapa bisnis AS sangat rentan mengalami krisis. Bisnis AS cenderung mengalami krisis, karena faktor budaya bisnis di sana. Survei yang dilakukan antara tahun 1995 – 2002 di 17 negara, pemimpin bisnis di AS dinilai oleh junior manajernya di 16 negara yang lain sebagai orang yang mengejar: (i) pertumbuhan bisnis, (ii) kekayaan pribadi, (iii) keuntungan tahun ini dan (iv) kekuasaan. Intinya pemimpin bisnis AS berorientasi jangka pendek.

* * *

Pembangunan politik dan ekonomi Indonesia seharusnya memperhatikan aspek budaya.

Politik Indonesia boleh sombong dengan demokrasi yang melibatkan banyak partai politik, tapi esensi pelaksanaannya tetap saja menggelikan. Toh akhirnya yang berpengaruh adalah ketokohan. Orang tidak memilih partai dengan program terbagus, tapi tokoh yang dianggap dapat mengayomi. Ini adalah cermin budaya masyarakat yang tidak setara, masyarakat dengan indeks jarak kekuasan yang besar. Untuk mendapatkan hasil terbaik politik Indonesia sebaiknya belajar dari politik Cina dan Singapura.

Ekonomi Indonesia sebaiknya saat ini tidak usah terlalu berfokus pada industri besar yang menuntut delegasi wewenang kepada banyak pihak, karena budaya Indonesia yang cenderung minta petunjuk. Sebagai gantinya industri besar itu sebaiknya diberikan bagi pemain-pemain asing dengan menyediakan kawasan ekonomi khusus seperti yang dilakukan Cina. Bangsa Indonesia sebaiknya belajar dulu dari praktek terbaik dari berbagai bangsa. Pengembangan industri seperti Toyota Kijang mungkin merupakan praktek yang lebih baik daripada mengembangkan mobil nasional sendiri.

Saya tidak tahu apakah budaya bisa diubah atau tidak. Mungkin bisa, namun perubahan itu tidak mungkin dilakukan secara cepat. Jadi sebaiknya gerak langkah politik dan ekonomi kita yang menyesuaikan diri dengan faktor budaya yang berlaku saat ini.

* * * * *

Geert Hofstede

Geert Hofstede, ahli kebudayaan negeri Belanda, melakukan riset perbedaan budaya di kantor cabang IBM di 64 negara kemudian diteruskan pada studi pelajar di 23 negara, studi kelompok atas pada 19 negara, studi pada pilot di 23 negara dan studi pada konsumen kelas atas di 15 negara.

Hasilnya 5 dimensi budaya, yaitu:

1. Power Distance/Jarak Kekuasaan menyangkut tingkat kesetaraan masyarakat dalam kekuasaan. Jarak kekuasaan yang kecil menunjukkan masyarakat yang setara. Semua pihak kekuataanya relatif sama.

Indonesia bersama Ekuador urutan ke 8/9 dari 53 negara yang menunjukkan jarak kekuasaan masih tinggi. Ada perbedaan yang mencolok antara orang yang berkuasa secara budaya ataupun politik terhadap orang yang tidak punya kuasa. Sebagai perbandingan masyarakat yang paling setara adalah Austria dan no. 2 adalah Israel.

Hal positif dari masing-masing perbedaan budaya ini adalah:

Jarak Kekuasaan kecil maka orang pada budaya tersebut mudah menerima tanggungjawab. Sementara pada Jarak Keuasaan besar maka orang lebih disiplin karena rasa takut akan kekuasaan.

2. Individualism/Individualisme vs Collectivism/Kolektivisme menyangkut ikatan di masyarakat. Pada masyarakat yang individual setiap pihak diharapkan mengurus dirinya sendiri dan keluarganya secara mandiri.

Indonesia bersama Pakistan ada di urutan 47/48 dari 53 negara yang menunjukkan orang Indonesia cenderung hidup secara berkelompok. Ini cocok dengan semboyan kita: gotong royong. Sebagai perbandingan negara yang paling individual adalah Amerika Serikat dan no.2 adalah Australia.

Hal positif dari masing-masing perbedaan budaya ini adalah:

Kolektivisme maka orang/karyawan pada budaya tersebut mudah berkomitmen. Sementara pada Individulisme maka pemberian wewenang manajemen lebih mudah disebarluaskan, karena pepimpin-pemimpin baru mudah diciptakan.

3. Masculinity/Maskulin vs Femininity/Feminin yang menyangkut perbedaan gaya antara 2 jenis kelamin. Pada budaya maskulin yang ditonjolkan adalah ketegasan dan kompetitif, sedangkan pada wanita adalah kesopanan dan perhatian.

Indonesia bersama Afrika Barat ada di urutan 30/31 dari 53 negara. Ini menunjukkan Indonesia dalam posisi sedang-sedang saja. Sebagai perbandingan yang paling maskulin adalah Jepang dan yang paling feminin adalah Swedia. Pantaslah Swedia adalah negara dengan tingkat kekerasan terhadap perempuan yang paling kecil di dunia.

Hal positif dari masing-masing perbedaan budaya ini adalah:

Pada budaya Maskulin maka orang pada budaya tersebut cocok untuk produksi massal, efisiensi, industri berat dan bulk chemistry. Sementara pada budaya Feminin cocok untuk industri pelayanan pribadi, produksi yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan pelanggan, pertanian dan biochemistry.

4. Uncertainty Avoidance/ Penghindaran Ketidakpastian yang menunjukkan rasa nyaman suatu budaya terhadap ketidakpastian.

Indonesia bersama Kanada berada di urutan 41/42 dari 53 negara. Ini berarti Indonesia tidak takut dengan perubahan dan lebih toleran terhadap perbedaan pendapat. Sebagai perbandingan Singapura adalah negara yang paling bisa menerima ketidakpastian dan Yunani adalah negara yang tidak.

Hal positif dari masing-masing perbedaan budaya ini adalah:

Budaya Penghindaran ketidakpastian besar maka orang pada budaya tersebut cocok untuk hal yang menuntut presisi. Sementara pada budaya Penghindaran ketidakpastian kecil cocok untuk melakukan inovasi dasar.

5. Long-term Orientation/ Orientasi Jangka Panjang menyangkut pola pikir masyarakat. Pada masyarakat yang beorientasi jangka panjang yang ditonjolkan adalah status, sikap hemat dan ketekunan dan memiliki rasa malu yang tinggi.

Cina, Jepang dan negara-negara Asia cenderung memiliki orientasi jangka panjang, sementara bangsa-bangsa barat cenderung pada jangka pendek. Dan negara yang sangat tertinggal juga cenderung memiliki orientasi jangka pendek. Pada budaya ini Cina memegang skor tertinggi, sementara Pakistan adalah skor terendah.

Website Geert Hofstede:

http://www.geert-hofstede.com/

baca juga:

http://erwinwirawan.blogspot.com/2009/04/budaya-berpengaruh.html

Thursday, April 16, 2009

Masalah 'Trust' dan Kapasitas Neokorteks pada Bangsa Indonesia

Apa persamaan pertandingan sepakbola dengan pemilu di Indonesia? Kalau pada sepakbola, kesebelasan yang kalah akan mengejar dan meninju wasit, sedangkan pada pemilu pihak yang kalah akan mengejar KPU plus pemerintah dan menyalahkan DPT.

Bangsa Indonesia bermasalah dalam dinamika hidup bersama termasuk berkompetisi secara sehat. Kita tidak siap menerima kekalahan. Ketika gagal dalam kongres atau dalam muktamar, pihak yang kalah akan menggembosi pihak yang menang. Hampir jarang ada ucapan selamat yang sportif dan rasa ikhlas untuk mendukung pihak yang menang.

Maka tidak heran kalau kita selalu menyaksikan hal-hal lucu dan kekanakan dalam menyikapi hasil suatu kompetisi. Ini adalah masalah serius yang harus dianalisis dengan serius pula. Mengapa hal ini berulang-ulang terjadi.

Paling tidak ada 2 masalah pada bangsa ini, yaitu: (1) Trust, (2) Kapasitas Neokorteks.

1. Trust

Seperti analisis yang dikemukakan Francis Fukuyama dalam bukunya 'Trust' bahwa syarat suatu bangsa menjadi besar adalah harus memiliki modal sosial. James Coleman mendeskripsikan modal sosial sebagai kapasitas masyarakat untuk bekerja sama dalam mencapai tujuan bersama.

Hanya bangsa yang bisa bekerja sama dengan baik yang bisa membuat perusahaan besar di dunia. Penelitian menunjukkan 3 negara yang berada di urutan teratas untuk 10, 20 dan 40 perusahaan dengan pendapatan terbesar di dunia, yaitu: Amerika Serikat, Jepang dan Jerman.

Ketiga negara ini disebut 'high-trust society'. Pada ketiga negara ini ditemukan kemampuan masyarakatnya membangun hubungan-hubungan sosial yang erat – tanpa perlu memandang hubungan darah atau keluarga – untuk mencapai suatu tujuan.

Secara teori disebutkan untuk mengelola sebuah perusahaan besar diperlukan 'trust' – rasa percaya – yang tinggi antar sesama anggotanya. Teori ini sangat masuk akal, karena untuk mengelola sumber daya yang banyak maka perlu dilakukan desentralisasi manajemen. Untuk memberikan tanggung jawab manajemen itu kepada orang lain, maka diperlukan rasa percaya yang tinggi.

Sebaliknya ada juga yang disebut 'low-trust society'. Contohnya Perancis, Korea, Italia dan Cina. Walaupun keempat negara ini cukup berhasil dalam membangun ekonominya, namun tetap saja perusahaan-perusahaan terbesarnya tidak sehebat negara-negara dengan karakter rasa saling percaya yang tinggi. Pada negara-negara ini ciri perusahaan yang maju dan besar terbagi menjadi 2 kategori, yaitu: (1) perusahaan yang didukung negara di Perancis dan Korea, (ii) perusahaan keluarga di Cina dan Italia.

Analisis 'trust' ini bisa digunakan untuk menjawab mengapa di Indonesia partai besar selalu rawan perpecahan. Bahkan kompetisi dalam demokrasi juga dalam bahaya jika setiap kelompok atau partai hanya siap menang dan suka mencari-cari alasan ketika kalah. Tanpa rasa percaya, orang cenderung mengedepankan kepentingan diri sendiri atau kelompok kecil. Perkembangan organisasi, bahkan bangsa selalu dibatasi dengan perpecahan yang berlangsung terus menerus.

2. Kapasitas Neokorteks

Kemampuan bekerja sama adalah hal penting dalam keberlangsungan hidup. Itulah yang sebenarnya membuat spesies manusia ini berjaya di dunia ini. Jangankan manusia, hyena yang bekerja sama membuat singa si raja hutan tidak berkutik.

Makhluk yang bisa bekerja sama adalah makhluk yang bisa berpikir. Dan bagian otak yang bertanggungjawab untuk berpikir adalah neokorteks. Beberapa fungsi
utama neokorteks adalah kemampuan berpikir secara sadar dan kemampuan bahasa.

Dalam penelitian ukuran kelompok adalah sebanding dengan volume neokorteks. Semakin besar kelompok, semakin besar neokorteksnya. Dan semakin besar neokorteks – artinya makin hebat kemampuan berpikirnya – semakin dia bisa bekerja sama.

Saya tak suka analisis lanjutan ini.

Jangan-jangan kecepatan evolusi otak manusia itu tidak sama di muka bumi ini. Ada bangsa yang berevolusi sedemikian baiknya sehingga neokorteks mereka makin membesar. Sementara itu ada juga bangsa yang lamban dalam evolusi neokorteksnya. Bangsa yang terlambat evolusi inilah yang hanya bisa membentuk kelompok-kelompok kecil dan gemar gontok-gontokan dalam permainan kompetisi yang menuntut sportifitas tinggi.

Dengan kenyataan beberapa bangsa lemah dalam kerjasama ini, perlukah diadakan survei volume neokorteks? Apakah bangsa dengan volume neokorteks kecil sebaiknya jangan berdemokrasi yang memerlukan jiwa besar dan kelapangan dada untuk menerima kekalahan?

Tanyakanlah pada rumput yang bergoyang.

Wednesday, April 15, 2009

Democracy After 11 Years

* All we need now is anti democracy movement

Democracy, as a system of government, needs evaluation and critics. After 11-year-implementation in Indonesia, it is the time to evaluate the result.

Based on our history, the time for system evaluation is appropriate. In 1978 after President Soeharto had reigned for 11 years, the ITB' students hold demonstration to reject the re-election of Pak Harto. The students protested Pak Harto's dictatorship. They believe that the democracy system is the best way to obtain the people's welfare.

After 20 years, the students succeeded to topple down Pak Harto. Suddenly all Pak Harto's work and achievement is neglected. This nation sees no relationship between strong government – not just dictatorship – and the country's achievement. The firm stand and action of Pak Harto on democracy has been the reason not to acknowledge Pak Harto's merit.

Since then, the nation began to conduct experiment on democracy. All democracy attributes such as the freedom to establish parties, the freedom to speak are bloomed nationwide. The politics becomes hectic and crowded everywhere. Money and energy rather goes to politics than to economy development.

Now politics – not economy - is the king. The lawmakers become the most powerful in politics. The president is no longer the only power to decide the development policy. At present the president's cabinets have to overcome the lawmakers' interest. The government's capacity is paralyzed. This is one of critical issues which can explain that democracy is not the guarantee for the development success.

The government itself has limited good human resources to develop this country. Meanwhile the parties cannot establish a system to produce high quality lawmakers. This situation brings the interaction between government and law makers not effective.

The executives recruitment is ruined by corruption, collusion and nepotism. Meritocracy is not the only way to select high level officers. Even without the disturbance of lawmakers, the executives still have many problems in implementing policies.

The lawmakers recruitment is worse. Anybody can be a lawmaker, whether he/she is qualified or not, as long as he/she can get the most votes. The capacity or the past achievement is not considered at all.

The doctoral theses of Idrus Marham, the lawmaker of Golkar Party, reveals that more than 60% of lawmakers is not qualified. There is no conceptual debates in legislative process. Negotiations and political intrigues replace them. This is the inside story of lawmakers.

And this is not the only critical case in developing the country based on democracy system. The other cases are the effectiveness and role of senators, the role of governor in district autonomy area and so on. Can we overcome all problems by democracy system to achieve the goal of people's welfare and justice?

* * *

The strong government of Pak Harto began to be widely criticized after 11 years since he grabbed the power. However the democracy system is never criticized after 11 year implementation. The democracy system cannot be proven as the best way to develop this nation.

Compared with critics to Pak Harto's dictatorship, there is no underground movement, there is no students' demonstration to democracy system failure. It seems that democracy is the magic thing from sky which is a taboo to be questioned.

Certainly it is impossible to go back to the past. The history has brought us to democracy system. And the show must go on. However we can learn from the principle of strong government. The democracy practice must be corrected. The urgent things are (i) president must have the strongest power, not the lawmakers, (ii) the number of political parties must be limited, and (iii) the regional autonomy policy must be improved.

In democracy system all of these corrective actions are handled both executive and legislative. However the quality of lawmakers will be the high hurdle to solve the problems.

The correction of our democracy system cannot depend on merely internal process. So the existence of anti democracy movement is urgently needed. It can be from inside or outside legislative and executive institutions.

The paradox is anti democracy movement can lead the democracy to the right way.

* * * * *

Monday, April 13, 2009

Apakah Pemerintah SBY Didukung Rakyat?

Sistem politik Indonesia yang rumit menyesatkan analisis hasil pemilihan umum (pemilu). Banyak analisis yang menyatakan Partai Demokrat – selaku partai utama pendukung pemerintah – yang memperoleh sekitar 20% suara populer dianggap sukses memenangkan pemilu. Padahal dari hasil pemilu sekarang, sebenarnya pemerintah yang berkuasa sudah kehilangan mandatnya!

Dalam demokrasi mandat pemerintahan diuji dalam pemilu. Dan dalam pemilu ini kebetulan posisi partai-partai papan atas sudah jelas.

Partai Demokrat adalah bayangan dari pemerintahan SBY. Jika rakyat memilih Partai Demokrat sudah bisa dipastikan ingin pemerintahan SBY berlanjut. PDIP sudah menjadi oposisi sejak lama. Jika rakyat memilih PDIP sudah pasti rakyat tersebut ingin pemerintahan berganti. Begitu pula dengan Partai Golkar. Secara informal JK sudah mencalonkan diri sebagai presiden. PAN dan PPP sudah bersilaturahmi dengan PDIP. Praktis cuma PKB dan PKS yang belum jelas, namun mereka juga tidak secara jelas mendukung pemerintahan yang sekarang.

Hasil pemilu adalah hanya sekitar 20% yang memilih Partai Demokrat. Jadi ada sekitar 80% pemilih yang tidak mendukung SBY dan Partai Demokrat. Atau dengan kata lain 80% rakyat menginginkan pemerintahan berubah. Ini berarti pemerintahan SBY tidak memiliki mandat yang cukup untuk melanjutkan pemerintahan. Dan kemenangan Partai Demokrat dalam pemilu ini adalah kemenangan semu. Mandat Partai Demokrat sebesar 20% itu adalah yang terbaik di antara jumlah-jumlah mandat yang buruk.

Memang untung bagi Partai Demokrat dan SBY bermain di keruwetan politik Indonesia. Pemerintah tidak kehilangan mandat, gara-gara suara 80% itu tidak berada di satu koordinasi koalisi.

Dan yang membingungkan dari pemilu ini adalah suara yang tadinya menentang sebanyak 80% bisa berubah komposisinya. Itu karena partai politik tidak memiliki identitas dan karakter yang jelas. Dalam suatu judul opini di Kompas ada kalimat yang tepat untuk menggambarkan fenomena ini, yaitu kalau sebelum pemilu ada massa mengambang, maka setelah pemilu ada partai mengambang.

Dan fenomena partai mengambang ini menyesatkan para pemilih. Katakanlah misalnya orang memilih Partai Golkar karena berdasarkan promosi JK yang menggambarkan dirinya lebih cepat dari SBY. Dari hasil pemilu sekarang, Partai Golkar bisa saja berubah pikiran dan berkoalisi dengan Partai Demokrat.

Lalu bagaimana nasib pemilih yang tadinya bermaksud memilih partai yang akan mendukung pemerintahan yang lebih cepat dibelokkan oleh elitnya sendiri untuk mendukung pemerintahan yang lebih lambat?

Dengan sistem politik yang tidak jelas ini kekuasaan untuk menentukan pemerintahan tidak berada di tangan rakyat, tapi berada di tangan elit politik. Pemilu yang bebas ini tidak banyak gunanya, karena akhirnya yang berkuasa adalah partai politik yang bisa seenaknya mengubah posisi politik.

* * *

Demokrasi adalah pertarungan ide mengurus negara dengan rakyat sebagai wasitnya. Dan hasil pertarungan itu harus sejalan dengan indikator dukungan politik. Kita belum memiliki aturan main yang tepat sebagai wadah pertarungan ide ini. Tapi kita bisa memulai memperbaiki aturan mainnya sekarang.

Fusi partai politik adalah hal pertama yang harus dilakukan. Tanpa fusi pertarungan politik di Indonesia akan terus berlangsung seperti sekarang ini, yaitu tidak jelas dan sangat membosankan.

Saya bermimpi politik di Indonesia hanya memiliki 2 kekuatan besar. Dan kondisi saat ini sudah ada 2 kekuatan besar yang terpolarisasi, yaitu: Partai Demokrat dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Pemimpin kedua partai ini – SBY dan Megawati – memiliki pengikut yang banyak dan kebetulan keduanya saling 'bermusuhan'. Dan secara kebetulan pula Partai Demokrat berwarna biru, PDIP berwarna merah mirip dengan warna kompetisi politik di Amerika Serikat. Ini adalah kondisi ideal untuk awal polarisasi politik di Indonesia.

Sementara kekuatan lainnya harus bergabung dengan 2 kekuatan besar ini melalui fusi partai politik. Bagi partai Islam, bisa dengan mudah menggabungkan diri sebagai sayap Islam bagi 2 kekuatan besar ini. Sangat memungkinkan PKB dan PPP sebagai sayap Islam dari PDIP, sementara PKS dan PBB sebagai sayap Islam dari Demokrat.

Fusi bukanlah hal baru dalam politik Indonesia. Partai Golkar adalah adalah gabungan sukarela dari berbagai organisasi yaitu SOKSI, MKGR dan Kosgoro. Bahkan – walaupun dipaksakan – PDIP dan PPP adalah fusi dari berbagai partai politik Islam.

Sekarang memang bukan jaman Pak Harto dimana semua bisa dipaksakan. Namun fusi di jaman demokrasi bisa dipaksakan dengan terus menaikkan ambang batas parlemen dan ambang batas pemilihan.

Akhirnya, sistem politik itu harus cantik, elegan dan yang terpenting tidak membuat pusing rakyat.

* * * * *

Monday, April 6, 2009

Politik Yang Efektif dan Efisien

Demokrasi Indonesia harus dikawal dengan ketat. Waktu sepuluh tahun adalah waktu yang cukup untuk belajar demokrasi. Demokrasi harus segera menghasilkan kesejahteraan rakyat.

Sasaran proses politik di Indonesia sebaiknya sebagai berikut: (i) jumlah partai sedikit, (ii) sistem politik yang tidak rumit namun efektif, dan (iii) biaya politik harus semurah mungkin.

Masalah Jumlah Partai

Politik akan efektif jika jumlahnya sedikit, namun aliran politiknya memiliki perbedaan yang jelas. Rakyat juga akan mudah menetukan preferensi partai politiknya.

Bandingkan saja pemilihan di Amerika Serikat (AS) dengan Indonesia. Di AS yang dipilih hanya 2 partai dengan perbedaan kebijakan yang jelas. Di Indonesia ada banyak partai, namun apakah anda bisa membedakan kebijakan dan ideologi yang jelas antara Partai Demokrat, Golkar, PPP, PDIP dll?

Sesungguhnya sudah ada upaya perbaikan untuk membatasi jumlah partai. Namun sayangnya seperti yang dikemukakan Eep Saifullah Fatah yang menulis di Kompas (18/11/2008) bahwa kebijakan untuk membatasi jumlah partai belum koheren.

UU Pemilihan Presiden 2008 menyatakan partai atau gabungan partai hanya bisa mengajukan calon jika mendapat 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional. Dan untuk mendapat kursi di Senayan ambang batas legislatif (parliamentary threshold) adalah 2.5 %. Upaya ini sesungguhnya sudah sangat bagus untuk membatasi jumlah partai.

Namun upaya ini tidak koheren dengan undang-undang lain. Ambang batas pemilihan (electoral threshold) yang dibuat utk Pemilu 2004 sebesar 3% dibatalkan, sehingga partai gurem tetap bisa maju terus di pemilu 2009. Sementara itu UU Pemerintahan Daerah 2004 yang masih berlaku menyatakan partai yang tak punya kursi di DPRD tetap diperbolehkan menggabungkan suara untuk mengajukan kandidat kepala daerah.

Semua ini akan mengakibatkan orang tetap tergiur untuk mendidirikan partai karena walaupun bersuara minimal, suara partai gurem ini masih ada harganya dan bisa dijual.

Sistem Politik dan Biaya

Bangsa Indonesia adalah penggemar kerumitan. Politik dan sistem pemilu Indonesia adalah yang paling rumit di dunia. Kerumitan ini selain tidak efisien juga cenderung tidak efektif.

Salah satu contoh politik yang tidak efektif dan efisien adalah pelaksanaan otonomi daerah pada tingkat kabupaten. Sementara provinsi yang membawahi kabupaten masih tetap ada.

Pakar otonomi daerah Ryaas Rasyid mengungkapkan ketidakjelasan peran gubernur. Di satu pihak gubernur adalah wakil pemerintah di provinsi, namun pada kenyataannya gubernur dipilih langsung oleh rakyat.

Selain itu terjadi tumpang tindih pelaksanaan pembangunan di provinsi yang di dalamnya terdapat kabupaten/kota otonom. Baik gubernur maupun bupati/walikota memiliki dinas teknis yang sama dan pada wilayah yang sama. Akibatnya kebijakan pembangunan tidak koheren karena masing-masing daerah memiliki visi misi sendiri-sendiri dengan wewenang yang kuat. Penulis pernah mendapatkan informasi langsung dari aparat di Departemen Kelautan dan Perikanan, bahwa ada provinsi yang mengadakan barang untuk suatu kabupaten, sementara kabupaten sendiri kebingungan, karena merasa tidak memiliki program yang terkait dengan pengadaan barang tersebut.

Otonomi di tingkat kabupaten ini menghasilkan banyak pemilihan kepala daerah (pilkada). Saat ini daerah otonomi meliputi 33 provinsi ditambah 349 kabupaten dan 91 kota. Dan semua pemimpin wilayah otonomi ini dipilih secara langsung. Maka bisa dibayangkan kebutuhan biaya untuk menyelenggarakan pilkada ini.

Biaya Pemilu 2009 sebesar Rp. 47.9 trilyun. Biaya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jawa Timur lebih dari Rp 830 miliar. Pilkada DKI Jakarta Agustus 2007 menghabiskan dana Rp 194 miliar. Pilkada di Jawa Barat dan Jawa Tengah juga menelan biaya kurang dari Rp 500 miliar.

Sekedar gambaran perbandingan, realisasi anggaran belanja negara yang dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) sebesar Rp 41,6 triliun dalam tahun 2008. Realisasi anggaran belanja yang dikelola oleh Departemen Kesehatan sebesar Rp16,9 triliun dalam tahun 2008.

Solusi untuk Politik Efektif dan Efisien

Pertama, jumlah partai politik harus dibuat sekecil mungkin dengan menaikan terus ambang batas legislatif maupun ambang batas pemilu. Pengurus partai gurem yang telah gagal mendapatkan dukungan rakyat dilarang untuk membentuk partai baru kecuali bergabung dengan partai besar. Kenaikan ambang batas ini dilaksanakan secara bertahap setiap pemilu sampai diperoleh maksimal 5 (lima) partai politik.

Kedua, otonomi dilaksanakan di tingkat provinsi, bukan di tingkat kabupaten/ kota. Pilkada hanya dilakukan untuk memilih gubernur. Provinsi harus memiliki wilayah yang besar, jumlah penduduk yang cukup sehingga kebijakan gubernur bisa berdampak nyata.

Dengan jumlah pilkada yang lebih sedikit, maka ongkos demokrasi juga akan lebih murah.

Ketiga, salah satu yang menjengkelkan – dan menghabiskan biaya – dari pemilihan presiden adalah pelaksanaannya 2 kali untuk mendapatkan suara mayoritas.

David Stanford menulis pada Jakarta Post (2/4/2009) usulan sistem preferensi dalam pemilihan presiden (pilpres). Dengan sistem preferensi yang disebut Instant-Runoff Voting (IRV) ini pilpres cukup dilaksanakan 1 kali. Sistem ini sudah dilaksanakan dalam pemilihan presiden Irlandia dan anggota parlemen Australia.

Pada sistem ini pemilih akan mengurutkan presiden sesuai dengan urutan preferensinya. Calon dengan jumlah preferensi urutan pertama yang paling rendah akan disingkirkan dari perhitungan dan jumlah suaranya akan akan dilimpahkan pada calon lainnya sesuai dengan jumlah preferensinya. Calon dengan suara terendah berikutnya akan disingkirkan dan suaranya dilimpahkan, begitu seterusnya sampai mendapatkan suara mayoritas.

Akhirnya, kita memaklumi upaya bangsa ini dalam bereksperimen dengan demokrasi. Untuk itu perbaikan sistem harus terus menerus dilakukan dan kritik terhadap sistem harus terus menerus dilancarkan. Karena demokrasi bukanlah mantra.

* * * * *

Wednesday, April 1, 2009

Kisah Tiga Negara

Dari tiga negara – Malaysia, Singapura dan Indonesia – yang bertetangga ini kita bisa melihat perbandingan sistem politik dan hasilnya bagi kesejahteraan rakyat.

Pada suatu masa ketiga negara ini menganut sistem politik yang sama, yaitu: pemimpin kuat dengan sistem pemerintahan tangan besi. Kemudian jaman berubah. Dari tiga negara itu Indonesia murtad dengan mengambil jalan demokrasi, sementara dua negara yang lain istiqomah dengan jalan yang dipilih.

Ini mengakibatkan situasi politik di Malaysia dan Singapura relatif stabil dan dapat diprediksi, sementara di Indonesia tidak. Hasilnya pembangunan di Malaysia dan Singapura berkesinambungan, sementara di Indonesia tidak. Dan selanjutnya entitas bisnis di Malaysia dan Singapura sudah siap untuk bermain di tingkat global, sementara di Indonesia tidak.

Kita bisa melihat 2 aspek penting dalam membangun negara ini, yaitu: (i) kesederhanaan sistem politik dan (ii) suksesi kepemimpinan.

* * *

Sistem pemerintahan Malaysia adalah sistem parlementer dengan banyak partai. Walaupun demikian posisi semua partai politik ini terbagi menjadi 2 koalisi besar, yaitu: Barisan Nasional yang berkuasa dan Pakatan Rakyat yang beroposisi.

Dengan sistem politik yang sederhana – dengan 2 kekuatan besar yang terpolarisasi – seperti ini membuat rakyat Malaysia lebih mudah memilih. Ketika rakyat tidak puas dengan kinerja Barisan Nasional, maka rakyat mengurangi dukungannya, bahkan mungkin menjatuhkannya.

Polarisasi ini akan mematangkan partai politik dalam mempersiapkan kader yang naik sebagai anggota parlemen. Anggota parlemen adalah orang yang terlatih, mengerti politik, mengerti bagaimana membuat undang-undang, bukan orang asal-asalan, apalagi artis sinetron yang mungkin hanya mengenal bedak dan gincu, daripada kebijakan publik.

Semua calon pemimpin Malaysia dipersiapkan sejak awal. Pemimpin Malaysia adalah anggota parlemen yang pernah menggeluti seluk beluk birokrasi pemerintah sebagai seorang menteri. Pengetahuan ini sangat penting sehingga pemimpin dalam membuat kebijakan bukan semata berasal dari teori dari buku, namun juga memiliki pengalaman praktis.

Dan yang menarik dari Malaysia adalah sejak Husein Onn, semua Perdana Menteri Malaysia berikutnya adalah mantan Menteri Pendidikan. Sedemikian pentingnya masalah pendidikan, sehingga setiap perdana menteri Malaysia pasti sangat mengerti seluk beluk kebijakan pendidikan.

Semua ini - kesederhanaan sistem politik dan suksesi yang bisa diprediksi - akan menghasilkan negara yang stabil dan pembangunan yang berkesinambungan sehingga Malaysia kemungkinan besar akan berhasil menjadi negara maju di tahun 2020.

* * *

Singapura sudah menjadi negara maju. Singapura adalah negara yang paling bebas korupsi dan negara yang paling makmur di dunia.

Sama seperti Malaysia, sistem politik di Singapura juga sangat sederhana. Yang berkuasa adalah People's Action Party (PAP). Sementara partai-partai lainnya adalah oposisi yang tidak akan pernah menjadi besar. Maka pemerintahan Singapura akan selalu stabil dan bisa menjalankan pemerintahan tanpa gangguan oposisi.

Namun pemerintahan tangan besi Singapura sama sekali bukan ditujukan untuk kekuasaan semata. Pemerintah benar-benar mengurus negaranya dengan baik. Selain meraih kesuksesan jangka pendek, pemerintah juga menyiapkan kesuksesan jangka panjang.

Tahun 1998, Todd Crowell and Andrea Hamilton di Asiaweek menjelaskan dengan cermat bagaimana Singapura menyiapkan pemimpin.

Pemerintah Singapura menyiapkan calon-calon pemimpin sejak awal sekali. Yang menonjol dari rekrutmen calon pemimpin di Singapura adalah sistem meritokrasi. Calon pemimpin adalah orang yang terbaik dan paling cerdas. Dan Singapura menawarkan talenta-talenta terbaik ini dengan beasiswa pemerintah di universitas terbaik seperti Cambridge di Inggris dan Harvard di Amerika Serikat. Dan sebagai kompensasi untuk menandingi sektor swasta, pegawai pemerintahan di Singapura digaji sangat tinggi.

Selanjutnya calon-calon pemimpin ini diterjunkan di birokrasi pemerintahan termasuk dinas militer. Dan pemimpin-pemimpin tingkat atas, yang masih berusia muda sudah memiliki pengalaman di pemerintahan selama belasan tahun.

Tahap terakhir dari penggemblengan pemimpin adalah menjadi anggota parlemen mewakili PAP. Mereka akan diberi kesempatan untuk berbagai jabatan menteri dan salah satunya akan menjadi Perdana Menteri.

Dengan kualitas pemimpin dan birokrat seperti ini, tanpa sumberdaya alam, tanpa wilayah yang luas, Singapura mencapai kemajuan tiada tara.

* * *

Di antara ketiga negara, Indonesia adalah yang terjelek. Sistem demokrasi adalah salah satu penyebabnya. Pembangunan di Indonesia akan cenderung tidak stabil dan tanpa arah yang jelas, sehingga sulit untuk mencapai sasaran dan tidak akan cepat tanggap dalam menghadapi krisis.

Hal yang paling kritis dalam demokrasi Indonesia adalah kekuasaan presiden yang terbatas untuk melaksanakan pembangunan. Pemerintah harus berhadapan dengan anggota dewan yang berasal dari kalangan antah berantah.

Kebebasan membuat partai membuat orang dengan mudah menjadi anggota parlemen. Tanpa pengkaderan yang jelas, tanpa pengetahuan yang cukup, siapa saja bisa menjadi parlemen. Dengan kualitas seperti ini anggota parlemen akan menjadi mitra pemerintah dalam melaksanakan pembangunan.

Selain itu demokrasi memungkinkan pemerintah berganti setiap 5 tahun sekali. Untuk negara berkembang seperti Indonesia tentu saja ini akan menyulitkan kesinambungan pembangunan. Semua program yang baik bisa berhenti begitu pemerintahan berganti.

Kualitas presiden juga bisa diragukan. Presiden yang terpilih bisa jadi belum berpengalaman dalam mengelola birokrasi pemerintahan. Karena kepemimpinan bukan sekedar teori maupun popularitas, namun juga soal praktek. Beda dengan Malaysia dan Singapura, Indonesia mempunyai kemungkinan besar dipimpin oleh orang yang tidak berpengalaman. Padahal tantangan pemerintahan Indonesia jauh lebih besar dan lebih bervariasi daripada Malaysia dan Singapura.

Dengan demokrasi yang riuh rendah ini dan sistem yang labil ini, apakah bisa menghasilkan pemimpin yang hebat, pemerintahan yang hebat dengan kebijakan yang hebat pula, parlemen yang berkualitas dengan undang-undang yang berkualitas juga?

Buktinya sudah jelas, setelah 11 tahun reformasi, pembangunan Indonesia tidak mencapai apa-apa, tidak mengarah ke mana-mana.

* * *

Dalam sebuah wawancara, Lee Kuan Yew memberikan rahasia keberhasilan Singapura, yaitu: menjadi relevan. Singapura harus selalu bisa negara relevan dengan keadaan dunia.

Dalam masa imperialisme, Singapura adalah pelabuhan dagang bagi imperialis Inggris. Singapura menjadi pusat distribusi barang ke seluruh dunia. Setelah masa itu, banyak negara yang merdeka dan membuat infrastruktur perdagangan sendiri. Singapura harus menjadi relevan, yaitu dengan memposisikan diri sebagai pusat jasa, pariwisata dan industri teknologi tinggi.

Setelah itu Singapura terus mereposisikan diri untuk meningkatkan daya saingnya. Salah satunya produk inovasinya adalah dengan pariwisata medis yang diharapkan menghasilkan pendapatan tinggi dan menciptakan lapangan kerja baru.

Dalam masa krisis 2009 ini Singapura sangat terpukul dengan turunnya nilai ekspor terutama di sektor teknologi informasi. Dan Singapura sudah siap dengan rencana membuat jalan baru pertumbuhan melalui investasi di bidang farmasi, produk teknologi kesehatan sambil tetap menjaga Singapura sebagai pusat keuangan dan teknologi tinggi.

Untuk kemajuan bangsa kata kuncinya adalah menjadi relevan dengan keadaan dunia. Untuk menjadi relevan perlu orang yang hebat pula dalam mengurus negara. Dan untuk menghasilkan orang hebat perlu sistem yang kuat, suasana yang kondusif, persiapan yang lama dan uji pengalaman yang cukup.

Dan sistem demokrasi di Indonesia sekarang, sayangnya, tidak mengarahkan Indonesia menjadi relevan.

* * * * *