Monday, November 17, 2008

Belajar dari Sang Guru Kapitalisme

Sungguh menarik mempelajari penanganan masalah ekonomi dari sang Guru Kapitalisme: Amerika Serikat.

Pada saat ini terjadi perbedaan kebijakan dari partai Demokrat dengan partai Republik. Kaum Demokrat ingin mengucurkan dana untuk membantu pabrik General Motors, Ford dan Chrysler dengan mengambil USD 25 milyar dari dana talangan USD 700 milyar. Kaum Republik menentang keras penyelamatan pabrik2 yang disebut Senator Richard Shelby dari Alabama sebagai 'dinosaurus' yang tidak membuat produk yang tepat dan tidak berinovasi. Memang ini ada aroma kompetisi, karena Alabama adalah tempat Toyota, Honda dan Mercedes-Benz.

Dalam buku lama Alvin Toffler: Previews and Premises, yang diterbitkan tahun 1983 ada bagian yang membahas masa depan pekerjaan. Kebetulan pembahasannya sangat relevan dengan kondisi AS sekarang. Pada pergeseran zaman dari gelombang kedua ke gelombang ketiga, akan banyak industri yang sekarat. Apa kebijakan yang tepat untuk industri yang sekarat? EUTHANASIA. Untuk industri sekarat, ya kebijakan yang paling tepat adalah SUNTIK MATI!

Industri mobil ini di AS adalah industri gelombang kedua, yang banyak mengandalkan mesin pabrik. Entah mengapa tampaknya industri ini sudah tak cocok lagi dengan AS. Pabrik2 mobil AS yang disebut dinosaurus itu sangat boros dalam overhead, termasuk program2 pensiun, kesejahteraan pegawai dll. Dalam industri mobil sudah jelas terlihat: AS kalah dari Jepang!

Memang Presiden Obama tidak akan memberikan cek kosong kepada industri mobil, tapi diperlukan kerja yang sangat berat untuk industri yang memang telah kalah bersaing.

Kembali ke Alvin Toffler, dia menyarankan bukan sekedar euthanasia, tapi program KONVERSI, tata ulang industri untuk teknologi baru termasuk pelatihan ulang bagi pekerjanya. Industri yang sekarat perlu menata organisasinya termasuk produknya supaya bisa hidup kembali dan bersaing.

Di masa lalu Inggris pernah melakukan penyelamatan pabrik mobil British Leyland. Toffler telah menghitung, pemerintah Inggris telah mengeluarkan biaya penyelamatan yang setara dengan upah penuh setiap pekerja Leyland selama 7 tahun! Seandainya uang sebanyak itu dipergunakan untuk program konversi, maka hasilnya pasti akan lebih nyata.

Mungkin pemikiran Alvin Toffler sudah lama, namun tetap relevan. Apakah penasihat Obama mengikuti Toffler dengan program konversi ataukah penyelamatan ala British Leyland? Terlebih lagi selama ini industri AS itu lebih produktif daripada Eropa, karena di AS orang lebih mudah dipecat sehingga bisnis segera dapat direorganisasi agar sesuai dengan pasar.

Kita lihat bagaimana Sang Guru beraksi. Sejarah akan menjawabnya nanti. Tapi sepanjang yang saya ketahui, campur tangan pemerintah terhadap bisnis kebanyakan berakibat jelek.

Wednesday, November 12, 2008

Fareed Zakaria tentang Demokrasi

1) Demokrasi dalam prosesnya malah bisa mengurangi kebebasan, membuat negara kacau dan tidak stabil.

Di India Partai tidak toleran Bharatiya Janata bisa berkuasa melalui demokrasi dimana usaha utama mereka adalah untuk menghindukan India. Partai ini juga bersemangat untuk membersihkan etnis Muslim. Di India pada tahun 1998 dan 1999, orang kristen meninggal dalam serangan dengan motif agama lebih banyak 4 kali daripada 35 tahun sebelumnya.

Di Venezuela Presiden Hugo Chaves memenangkan referendum yang mengambil alih kekuasaan legislatif dan yudikatif.

Sejak tahun 1990, 42 dari 48 negara2 Afrika sub-Sahara yang memiliki sistem multi partai, tapi negara2 ini kacau dan tidak stabil.

2) Pembangunan ekonomi menghasilkan kelas menengah yang kuat. Dengan kekuatan dasar menengah ini maka demokrasi bisa berjalan.

Kunci untuk mendirikan demokrasi liberal adalah kelas menengah yang kuat, yang memperoleh kekayaan dari keringatnya sendiri. Kelas menengah inilah yang memiliki kebebasan yang ingin ada keteraturan sosial,tapi juga membatasi kekuasaan pemerintah atas kebebasan pribadi mereka. Kelas menengah inilah yang ingin ada yang mewakili mereka dalam kekuasaan pemerintahan dan menciptakan demokrasi.

Demokrasi liberal akan lahir secara bertahap ketika kelas menengah telah terbentuk. Zakaria yakin demokrasi liberal ini akan terbentuk di Cina yang mengutamakan ekonomi sebelum politik.

Penjelasan paling sederhana atas kesuksesan demokrasi adalah sukses ekonomi, paling mudah dijelaskan melalui pendapatan perkapita. Dari penelitian 32 negara demokrasi memiliki pedpatan perkapita $9,000 dengan jumlah total 736 tahun. Dan semua negara itu masih sukses sampai sekarang. Sementara 69 negara demokratis yang lebih miskin, 39 menjadi negara gagal.

Zone transisi demokrasi adalah ketika pendapatan per kapita USD 3,000 – 6,000, jika di bawah USD 3,000 demokrasi cenderung gagal. Jika di atas USD 6,000 tidak ada contoh gagal.

Dalam buku The Future of Freedom dijelaskan bahwa demokrasi tidak sekedar proses pemilihan tapi unsur-unsur demokrasi yaitu kelembagaan yang menjamin kebebasan, pemisahan kekuasaan, hukum, pengadilan dan konstitusi. Jadi demokrasi tak sekedar pemilihan. Sangat sulit menghasilkan lembaga-lembaga yang melanggengkan kebebasan.

Toqueville (?) mengingatkan 150 tahun yang lalu, jangkar demokrasi di AS adalah struktur mediasi antara negara dan keluarga, berupa partai politik, pengacara, pengadilan bahkan gereja mengarahkan demokrasi Amerika.

Friday, November 7, 2008

Lipstik Demokrasi

Demokrasi di Amerika Serikat (AS) sangat memukau. Banyak pelajaran berharga yang bisa didapat. Tapi – dengan kondisi negara yang jauh berbeda – tepatkah demokrasi ala AS ini diterapkan di Indonesia?

Amerika Serikat (AS) benar-benar luar biasa. Pemilu di negara pakar demokrasi itu mendapat liputan luas di seluruh dunia. Apalagi hasil pemilu mencengangkan orang. Obama sebagai keturunan kulit hitam, mempunyai ayah dari negara lain, berhasil menjadi presiden. Batasan ras dalam demokrasi di sana telah berhasil dirobohkan. Kemenangan ini menjadi inspirasi bangsa di seluruh dunia untuk sebuah penegasan demokrasi adalah sistem terbaik yang membuat semua manusia setara.

Pelaksanaan demokrasi di negara Paman Sam itu sangat berharga untuk dipelajari. Selain kesetaraan, beberapa pelajaran lain yang bisa adalah: 1. sportivitas, 2. proses yang teratur dan stabil.

Sportivitas ditunjukkan dengan betapa elegannya mereka dalam berdebat. Debat sepanas apapun tetap membuat kandidat-kandidat itu mampu menahan diri. Dan sportivitas tertinggi yang ditunjukkan adalah ketika pihak yang kalah, langsung memberikan dukungan terhadap pihak yang menang. Para calon itu terlihat sangat bisa menerima kekalahan betapapun pahitnya kekalahan.

Proses pemilihan presiden di AS juga sangat memukau. Para calon diseleksi dari awal tidak hanya oleh partai, tapi juga oleh pers. Calon yang tidak sempurna pasti sudah tersingkir sejak awal. Para calon itu disaring oleh partainya melalui konvensi. Proses mencari dukungan dalam partai ini sangat panjang yang meliputi seluruh negara bagian. Sampai akhirnya pemenang proses masing-masing partai ini bertarung dalam pemilu nasional.

Semua proses ini begitu teratur, jelas dan memukau. Untuk proses konvensi ini saja seluruh dunia sudah mengadakan liputan yang luas. Bangsa AS begitu pandai memoles proses penting ini menjadi tontonan yang menghibur.

***
Tapi yang terpenting adalah bagaimana pengaruh proses pemilu di AS ini terhadap pelaksanaan demokrasi di Indoensia. Tentu bangsa Indonesia jadi sangat terinspirasi.

Usia Obama yang relatif mudah telah lama menginspirasi tokoh muda di Indonesia. Banyak tokoh-tokoh muda mematut-matutkan diri supaya bisa menjadi kandidat presiden seperti Obama. Iklan kampanye oleh partai politik maupun tokoh yang ingin jadi presiden telah lama beredar di TV.

Masalahnya apakah semua ini tepat dengan kebutuhan bangsa Indonesia? Apakah demokrasi yang penuh lipstik ini cocok dengan kebutuhan Indonesia? Apakah kita saat ini butuh tokoh seperti penyair yang memukau massa?

Bangsa AS telah berada dalam kondisi yang relatif stabil, sehingga boleh dikatakan siapapun jadi presiden AS tidak akan berpengaruh banyak. Masalah bangsa AS bukan lagi pada sistem kenegaraan, proses demokrasi dan kematangan politikus. Mereka telah melewati semua hal mendasar itu.

Sementara bangsa Indonesia sebaliknya. Sistem pemerintahan kita masih tidak jelas apakah presidensial, apakah parlementer? Kalau presidensial, mengapa presiden harus perlu melakukan koalisi. Bentuk negara kita masih belum jelas apakah negara kesatuan ataukah federal? Kalau negara persatuan, mengapa gubernur dipilih secara langsung yang mirip sistem federal? Belum lagi politikus kita belum mencapai kematangan, sampai para mantan presiden itu tak bertegur sapa satu sama lain.

Dengan semua kondisi ini, kita belum pantas beranjak ke level berikutnya, yaitu demokrasi yang mengandalkan karisma, pidato yang memukau dan iklan politik. Semua ini bisa membuat bangsa Indonesia akan semakin jauh dari sasaran.

Lihatkah sejarah bangsa Indonesia. Bandingkan Bung Karno dan Pak Harto.

Bung Karno memukau, penuh karisma dan mampu memberikan inspirasi. Tapi kebutuhan bangsa Indonesia saat baru merdeka itu adalah membangun sistem, baik politik maupun ekonomi. Negara hanya dibangun berdasarkan retorika, bukan kerja keras. Itulah sebabnya kondisi Indonesia begitu bobrok dan bangkrut di jaman Bung Karno.

Pak Harto kebalikan dari Bung Karno. Pak Harto relatif tak pandai pidato. Orangnya tenang, datar dan hampir tanpa pesona lahiriah. Tapi Pak Harto adalah administrator ulung. Pak Harto bisa memilih teknokrat-teknokrat terbaik di Indonesia. Hasilnya Indonesia bisa membangun, pertumbuhan ekonomi tinggi, keadaan negara stabil.

***
Kepada bangsa AS kita belajar demokrasi. Tapi penerapan demokrasi harus disesuaikan dengan kebutuhan Indonesia. Dan saat ini bangsa Indonesia lebih membutuhkan pemimpin yang juga administrator ulung daripada sekedar ahli pidato. Kita harus lebih fokus pada perbaikan sistem, daripada fokus pada gebyar hura-hura demokrasi.

*****