Monday, October 26, 2009

Ayat-Ayat Tembakau

Lelucon luar biasa yang dihasilkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2004 – 2009 adalah soal hilangnya ayat tentang tembakau dalam Undang-Undang Kesehatan. Benar-benar aneh bin ajaib, apalagi undang-undang itu telah dibahas dan disyahkan dalam rapat pleno.

Secara logika hampir tidak mungkin hilangnya ayat ini karena unsur ketidaksengajaan. Orang pantas curiga, karena penghilangan ayat tembakau sangat berkaitan dengan kepentingan industri rokok. Dengan adanya penegasan bahaya tembakau, maka ruang gerak industri rokok akan semakin terbatas.

Di era demokrasi, upaya mempengaruhi keputusan undang-undang adalah hal yang biasa. Sejak dari kampanye pemilihan calon anggota legislatif (caleg), yang akan membuat undang-undang, semua pihak yang berkepentingan dapat melakukan negosiasi. Caleg bisa merayu rakyat dan menebar janji, bahwa jika dia terpilih dia akan memperjuangkan ini, memperjuangkan itu. Sementara itu, kalangan industripun bisa mendanai kampanye caleg dengan pamrih ini, pamrih itu.

Ekonom kritis, pemenang Nobel, Joseph Stiglitz dalam bukunya, Making Globalization Work, mengungkapkan bahwa di Amerika Serikat (AS), industri memainkan peranan penting dalam mempengaruhi suatu kebijakan.

Dengan aturan hukum yang makin ketat, penyuapan oleh pihak industri secara langsung hampir tidak pernah dilakukan lagi. Penyuapan sudah digantikan dengan permainan cantik berupa kontribusi perusahaan dalam dana kampanye politik. Di AS perusahaan farmasi mengeluarkan USD 759 juta untuk mempengaruhi 1.400 keputusan kongres antara tahun 1998 hingga 2004. Industri farmasi juga merupakan ranking teratas dalam jumlah uang untuk lobi dan jumlah pelobi yg dipekerjaan, yaitu sekitar 3.000 orang.

Sebenarnya di Indonesia “permainan cantik” mempengaruhi undang-undang juga telah dilakukan. Undang-Undang Migas No 22 tahun 2001 yang sangat menguntungkan perusahaan minyak asing dan membuat Pertamina menjadi perusahaan kerdil sudah berhasil digolkan. Dengan undang-undang ini, Pertamina yang tadinya memegang kuasa pertambangan dari pemerintah, ditempatkan pada kedudukan yang sejajar dengan perusahaan asing.

Menurut penelusuran M Kholid Syeirazi dalam buku Di Bawah Bendera Asing: Liberalisasi Industri Migas di Indonesia, terciptanya UU Migas tak lepas dari lobi kapitalis-kapitalis minyak dunia. USAID sebagai perpanjangan tangan kepentingan asing itu, sangat terlibat dalam proses lolosnya RUU Migas ini dengan menggelontorkan dana USD 850 ribu kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan akademisi perguruan tinggi.

Demokrasi memang memungkinkan siapapun dipengaruhi atau mempengaruhi wakil rakyat demi suatu kepentingan, sepanjang tidak melanggar hukum. Semua lobi yang dilakukan dengan elegan, intelektual dan mengikuti semua prosedur yang berlaku adalah cara yang sah. Namun sayang sekali untuk kasus ayat tembakau yang hilang dalam UU Kesehatan sangat jauh dari kesan intelektual maupun etika. Cara menghilangkan ayat itu sangat kampungan dan alasan ketidaksengajaan sangat tidak masuk akal.

* * *

Selain masalah hilangnya ayat tembakau ini, sangat menarik pula memperhatikan perihal tembakau ini. Kebencian kita terhadap tembakau – yang diwujudkan hebohnya kehilangan ayat tembakau – mengandung suatu ironi.

Faisal Basri dalam bukunya Lanskap Ekonomi Indonesia, menyoroti betapa hebatnya pabrik rokok dalam berkontribusi melalui pajak dibandingkan dengan BUMN kita. Dividen yang diberikan BUMN, yang jumlahnya lebih dari 100, kepada negara masih kalah dibandingkan dengan kontribusi pajak dari empat perusahaan rokok. Sebagai gambaran, target dividen dari BUMN tahun 2008 adalah sekitar Rp. 31 trilyun, sementara pajak cukai dari cukai dan PPN dari pabrik rokok sebesar Rp. 57 trilyun.

Kita membenci tembakau, namun ternyata pabrik rokok, yang memanfaatkan tembakau, justru memberikan kontribusi besar bagi negara.

* * * * *

Wednesday, October 21, 2009

Xenophobia

Parafrase Aristoteles: “Siapapun bisa xenophobia – xenophobia itu mudah. Tetapi xenophobia pada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan dengan cara yang baik – bukanlah sesuatu yang mudah.”

Sejalan dengan arus globalisasi, setiap bangsa dipaksa untuk saling berhubungan. Hubungan antar bangsa ini bisa menguntungkan maupun tidak. Penanaman modal asing dapat memacu pertumbuhan ekonomi, namun dominasi asing di suatu sektor dapat mengurangi penerimaan negara. Karena adanya dampak yang merugikan itu mengharuskan setiap bangsa melakukan seleksi terhadap kepentingan asing di negaranya. Sikap xenophobia – ketakutan terhadap orang asing – tidak bisa dipandang sekedar kebijakan hitam atau putih, namun harus dikaitkan dengan konteks yang sesuai.

Indonesia kelihatan gamang terhadap arus globalisasi. Pemerintah terlihat bingung dengan sektor mana yang harus diliberalisasi, sektor mana yang tidak. Beberapa fakta menunjukkan pemerintah Indonesia bersama Dewan Perwakilan Rakyat melakukan kesalahan fatal dalam berhubungan dengan orang asing. Sektor yang harusnya dikelola sendiri justru diberikan kepada bangsa asing, sementara sektor yang seharusnya mengundang bangsa asing justru malah diabaikan.

Ada 2 (dua) sektor yang mencolok mata yang menunjukkan Indonesia melakukan kebijakan yang tidak tepat, yaitu: sektor migas dan sektor perbankan.

Untuk sektor migas Indonesia melakukan hal yang ironis sekali. Pemerintah seperti menari dengan hentakan gendang orang asing. Pertamina, sebagai perusahaan milik bangsa, justru dikebiri, sementara perusahaan asing diberi ruang gerak sebebas-bebasnya untuk mengeruk keuntungan dari bumi Indonesia.

Pakar perminyakan, Kurtubi, menguraikan fenomena yang memilukan ini. Pertamina adalah penggagas sistem kontrak production sharing (KPS) yang relatif lebih menguntungkan dibanding sistem yang lain. Sistem ini kemudian diadopsi oleh berbagai negara. Namun ironisnya melalui Undang-Undang Migas No 22/ 2001, sistem yang menguntungkan ini justru ditinggalkan. Kuasa pertambangan yang dulunya monopoli Pertamina dicabut. Ruang gerak Pertamina dibatasi sementara perusahaan minyak asing diberi keleluasaan gerak. Pertamina, di tanah airnya sendiri, diperlakukan sama seperti halnya perusahaan asing.

Akibat kebijakan ini bisa ditebak, Pertamina makin babak belur. Pertamina bukan apa-apa, bahkan dibandingkan dengan perusahaan kemarin sore, Petronas, yang justru mengadopsi sistem KPS Pertamina.

Sementara itu di sektor perbankan, Indonesia pun melakukan kebijakan yang terlalu liberal, bahkan lebih liberal dari negara yang paling liberal dalam mengundang orang asing.

Perbankan adalah salah satu tulang punggung perekonomian nasional yang memiliki nilai strategis, sehingga banyak negara yang paling liberal pun membatasi kepemilikan asing. Kepemilikan asing perbankan di AS maksimal 30%, RRC 25%, Australia 15%, India 49%, Korsel 30%, Malaysia 30%, Vietnam 30%, Filipina 51%, Thailand 49%. Sementara Indonesia membolehkan kepemilikan asing hingga 99%.

Cina yang merupakan negara yang paling ramah pada investor asing, mempersulit pihak asing untuk berkiprah di sektor perbankan. Bank Mandiri mengalami kesulitan dalam mengembangkan operasinya di Cina. Otoritas perbankan di Cina selalu membuat peraturan yang membatasi ruang gerak Bank Mandiri di sana.

Xenophobia pada bidang perbankan sesungguhnya bisa dimaklumi. Berberapa ancaman nyata perbankan asing adalah (i) perbankan nasional akan semakin terdesak dalam kompetisi dalam negeri, (ii) sebagian besar bank asing bisa hanya bermain di segmen konsumsi yang tidak produktif yang tidak mendorong nilai tambah perekonomian domestik.

Itulah dua contoh betapa buruknya manajemen negara ini dalam mengatur keberadaan pihak asing di negeri ini.

Namun anehnya di tengah semarak liberalisasi di Indonesia itu, justru Indonesia sangat ketinggalan di bidang yang seharusnya perlu mengundang orang asing dengan cepat dan ramah, yaitu Penanaman Modal Asing Langsung (PMAL). Data yang dirilis Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang paling rendah menyerap PMAL. Rasio PMAL terhadap produk domestik bruto untuk Indonesia 5 persen, sementara China 11 persen, dan Vietnam 55 persen.

Ini aneh sekali, karena PMAL ini sangat penting untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. PMAL akan mampu membiayai kekurangan biaya investasi dalam negeri. PMAL akan mampu menanggulangi sektor produksi barang Indonesia yang tumbuh kurang mengesankan. Dan peningkatan sektor produksi barang ini pada akhirnya akan meningkatkan penerimaaan pajak.

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat tampaknya tidak serius mengembangkan PMAL di sektor produksi barang ini. Undang-Undang Kawasan Ekonomi Khusus (UU KEK) baru disahkan tahun 2009. Sungguh kebijakan yang sangat terlambat. Padahal banyak contoh luar biasa kemajuan ekonomi dengan mengundang asing berinvestasi di kawasan ekonomi khusus ini. Kemajuan ekonomi Cina yang spektakular adalah utamanya digerakkan oleh kawasan ekonomi khusus ini.

Dan jika Indonesia menerapkan KEK sekarang, kompetisinya akan lebih sulit lagi karena harus bersaing dengan KEK negara-negara lain. Apalagi ditambah KEK Indonesia belum operasional dalam peraturan-peraturan teknis, sehingga masih membutuhkan waktu lama mengoperasikan KEK.

Itulah anehnya bangsa kita, yang harus didahulukan dan menguntungkan malah tidak diurus, sementara yang merugikan bangsa justru sudah berlaku jauh-jauh hari.

* * * * *