Wednesday, June 24, 2009

Sistem IRV Untuk Pilpres 1 Putaran

Demokrasi adalah sistem terburuk - di luar dari sistem yang pernah dicoba umat manusia. Begitulah pendapat Winston Churchill. Namun dengan segala kelemahannya tetap saja ia sistem yang paling menarik, yang paling dekat dengan fitrah manusia yang mendambakan kebebasan dalam hidup.

Demokrasi Indonesia sangat mahal dan terkadang konyol. Puluhan bahkan ratusan trilyun kita habiskan untuk pesta demokrasi dari mulai pilkada, pileg hingga pilres. Dengan menggunakan dana sebanyak ini, sama sekali tak ada jaminan bahwa kita akan berhasil membentuk pemerintahan yang dapat menyejahterakan rakyat. Tapi bagaimanapun itulah keputusan seluruh rakyat Indonesia. Keputusan ini harus kita jalankan, betapapun konyolnya.

Ketika kita sudah setengah jalan dalam rangkaian pileg dan pilpres, timbullah upaya yang mengejutkan dari pendukung Presiden SBY untuk mengajak rakyat mendukung gerakan pilpres 1 putaran. Alasannya agar biaya pemilu dapat dihemat, pemerintah bisa segera bekerja dan arah politik segera bisa dikonsolidasikan.

Ini benar-benar nonsens!

Pertama, kalau kita sudah sepakat dengan sistem yang ada, maka seharusnya tidak usah lagi diungkit-ungkit soal biaya.

Kedua, pilpres adalah sarana bagi rakyat untuk menentukan arah pemerintahan ke depan. Maka dari itu hal yang harus diperhatikan rakyat adalah visi misi seorang calon presiden atau hal apapun yang menyebabkan keyakinan rakyat terhadap salah satu calon. Jadi faktor yang penting adalah semua soal yang penting bagi rakyat di luar soal biaya pemilu.

Yang menyedihkan adalah bahwa yang mengajak rakyat berpikir untuk pilpres 1 putaran adalah seorang Denny JA yang pastinya pemahamannya soal demokrasi berada jauh di atas rata-rata rakyat Indonesia.

* * *

Ada cara yang lebih baik untuk menghemat biaya dalam pilpres. Ada teknik yang baik agar pemilihan bisa berlangsung cukup 1 putaran saja.

David Stanford menuliskan teknik yang memikat dan menghemat biaya ini pada Jakarta Post 2 April 2009. (http://www.thejakartapost.com/news/2009/04/02/a-preference-a-better-electoral-system.html). Teknik ini dinamakan Instant-Runoff Voting (IRV). Sistem ini telah digunakan di Australia dan Republik Irlandia.

Pada prinsipnya sistem ini akan memilih presiden sesuai preferensi. Misalnya no. 1 kita memilih SBY-Boediono, no. 2 kita pilih JK-Win, no. 3 kita pilih Mega Pro. Jadi pemilih harus menuliskan urutan preferensi pasangan capres. Ini sangat adil. Jika dalam contoh di atas, SBY-Boediono tidak lolos ke putaran kedua, maka kalaupun dilaksanakan putaran kedua orang tersebut akan memilih pasangan JK-Win. Bedanya kalau dengan sistem sekarang, pilihan kedua itu dilaksanakan pada putaran kedua, dengan sistem IRV, pilihan kedua cukup dilaksanakan pada putaran pertama.

Untuk lebih jelasnya cara penghitungan secara detail dapat dilihat pada http://www.aec.gov.au/Voting/counting/hor_count.htm.

Semangat pilpres 1 putaran untuk menghemat biaya itu adalah semangat yang baik. Cuma semangat itu harus diimplementasikan secara cerdas dan bermartabat. Tugas kita semua saya kira untuk memastikan bahwa sistem IRV ini dapat diterapkan melalui Undang-Undang sehingga bisa kita segera laksanakan pada pemilu mendatang.

Untuk Indonesia yang lebih baik, mudah-mudahan ini bisa dibaca anggota dewan yang akan membuat undang-undang.

* * * * *

Monday, June 22, 2009

Mampukah Ekonomi Syariah Menggantikan Kapitalisme?

* Saya batalkan opini saya ini. Ternyata ekonomi syariah MEMANG bisa menggantikan kapitalisme !!!

Sistem ekonomi syariah yang dimotori oleh perbankan syariah sekarang sedang naik daun. Hampir semua bank memiliki divisi syariahnya. Perbankan ini juga disinyalir tahan uji, karena menerapkan sistem tanpa riba dan hampir 100% bergerak di sektor riil. Benarkah sistem ini bisa menantang kapitalisme?

Kapitalisme mengalami cobaan berat. Krisis telah berlangsung berkali-kali mendera sistem ini. Sistem ini terlihat tidak stabil. Krisis ini dianggap sebagai kegagalan. Wajar saja berbagai pihak mulai mencari sistem alternatif.

Kebetulan sekali sistem perbankan dalam kapitalisme menggunakan 'sistem bagi hasil' yang nilai bagi hasilnya ditetapkan di depan. Dan ini dinamakan riba. Kemudian dengan mudahnya orang menuding riba inilah sebagai penyebab kegagalan kapitalisme.

Ada berbagai wawasan yang perlu dikembangkan dalam menyikapi pengembangan ekonomi syariah termasuk perbankan syariah dengan menarik pelajaran berharga dari sistem kapitalisme yang pada banyak hal sistem ini berhasil menyejahterakan rakyat.

* * *

Saya teringat pelajaran di buku biologi SMP tentang keseimbangan ekosistem. Di dunia ini sudah takdirnya serigala memangsa rusa. Namun sekitar tahun 1960 an di Amerika Serikat, terjadi gerakan pencinta rusa yang bertekad untuk melindungi rusa dari serigala pemangsa. Usaha ini berhasil, banyak serigala mati tertembak sehingga banyak rusa bisa selamat.

Keadaan bahagia ini ternyata tidak berlangsung lama. Membunuh serigala berarti merusak keseimbangan ekosistem. Karena bebas dari pemangsa, populasi rusa melonjak pesat. Makanan rusa berupa daun-daunan ternyata tidak cukup untuk menghidupi seluruh populasi rusa. Akhirnya banyak rusa itu mati kelaparan.

Pelajaran penting di sini adalah kita melihat suatu hal yang baik ataupun buruk dalam kacamata yang sempit, tanpa terlalu memperhitungkan sistem yang lebih besar.

Sama seperti halnya ekonomi syariah termasuk perbankan syariah sangat menekankan larangan riba. Suatu kehati-hatian tingkat tinggi terhadap sistem keuangan. Apakah kehati-hatian ini bisa merusak sistem yang lebih luas?

Dalam buku The World is Flat, Thomas Friedman, ada kisah seperti ini. Pada suatu ketika ekonomi ''dotcom'' tumbuh gila-gilan. Setiap 15 detik ada 1 perusahaan ''dotcom'' yang “go public”. Semua investasi tumpah ruah di sektor ini sehingga akhirnya timbul gelembung. Investasi menjadi tidak rasional yang tidak sesuai dengan kenyataan riil keadaan bisnis. Akhirnya gelembung ini pecah.

Kemudian Bill Gates memberi jawaban yang membuka wawasan soal gelembung ini. Gelembung memang pecah. Tapi investasi besar-besaran telah membuat banyak talenta terbaik memberikan sumbangan inovasi di sektor ini. Inovasi ini terbukti mengembangkan ekonomi dunia.

Bill Gates membandingkan keadaan gelembung ini dengan demam emas di Amerika Serikat di masa lalu. Ketika itu lebih banyak bisnis Levis's, cangkul, sekop, hotel yang berkembang daripada bisnis emas itu sendiri.

Terbukti gelembung investasi itu tidak sia-sia. Bisnis di dunia menjadi sangat berkembang akibat inovasi-inovasi yang dilakukan di masa-masa gelembung ''dotcom''. Bahkan negara seperti India sangat bersyukur dengan gelembung ''dotcom'' ini. Kabel serat optik dari Amerika Serikat dan Eropa ke India sudah terlanjur dipasang di masa gelembung. Ketika gelembung pecah, kabel sudah tertanam dan tidak mungkin digali kembali. Ongkos internet dari benua-benua ini menjadi sangat murah. Bakat-bakat terbaik India akhirnya mendapat jalan untuk terhubung dengan kemakmuran Barat dengan mengambil manfaat dari 'outsourcing'. Bukankah ini juga berarti kecerobohan di sektor keuangan justru mendatangkan kemakmuran berikutnya?

Kehatian-hatian di sektor keuangan itu sangat baik. Tapi apakah dengan terlalu mengatur lembaga keuangan tidak berakibat fatal bagi inovasi? Saya kira kita perlu memiliki tingkat kewaspadaan yang sama terhadap pembunuhan serigala yang kejam itu, tapi kemudian itu terbukti fatal bagi kelangsungan hidup rusa itu sendiri.

* * *

Inovasi adalah kunci dari kemajuan dunia saat ini. Dan sampai batas tertentu dibutuhkan kecerobohan keuangan untuk mendapatkan inovasi ini. Sebagai contoh kiprah investor bernama Andy Bechtolsheim yang sangat ternama di dunia '''dotcom'''. Setelah duet Sergey Brin dan Larry Page selesai melakukan presentasi di hadapannya, tanpa banyak basa basi, tanpa bicara apa-apa soal detail, Bechtolsheim kemudian menuliskan cek 100.000 dolar untuk modal Google Inc. Padahal perusahaan Google ini sama sekali belum resmi berdiri!

Tidak semua kesembronoan ala Bechtolsheim ini berhasil. Begitu banyak perusahaan '''dotcom''' terkubur dan hanya beberapa yang selamat. Namun dari beberapa yang selamat inilah yang terbukti menggairahkan ekonomi dunia.

Kemakmuran – di dunia kapitalis – saat ini dibangkitkan oleh inovasi. Ini nuansa yang perlu dipahami semua orang. Kemakmuran kapitalisme sama sekali bukan dibangun di atas tumpukan ide-ide yang menjamin kestabilan. Semua terjadi dalam suasana terlihat seperti “chaos” yang tak beraturan, penuh resiko, yang gampang terkena krisis.

Tentu saja kapitalisme tidak tinggal diam dengan faktor “chaos” ini. Baru-baru ini Presiden Obama mengumumkan rencana perombakan sistem keuangan AS. Perusahaan besar yang berpotensi merusak sistem finansial akan diawasi ketat oleh satu lembaga khusus.

Pengembangan ekonomi syariah seharusnya juga memperhatikan faktor “chaos”, faktor-faktor gelembung-gembung ekonomi yang ternyata bisa menopang inovasi ini. Ketika sektor keuangan terlalu dicekik, terlalu dibatasi geraknya mungkin kita akan kehilangan inovasi.

Sistem keuangan syariah barulah dalam skala kecil, apakah jika dalam skala besar sistem ekonomi ini akan mematikan inovasi? Jika sistem keuangan sekarang sudah dieliminir sisi kecerobohannya, sementara itu inovasi sebagai bahan bakar peradaban mendapat suasana kondusif dalam sistem keuangan sekarang, apakah kita masih butuh sistem keuangan yang lain?

* * * * *

Friday, June 19, 2009

Ganyang Malaysia

Konfrontasi positif dengan Malaysia bukan saja perlu, namun sudah menjadi kebutuhan bangsa ini untuk menajamkan kemampuan dan daya saing. Banyak bukti menunjukkan konfrontasi positif dengan negara tetangga dapat memacu pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.

Singapura dan Malaysia adalah musuh bebuyutan. Singapura lebih dahulu maju. Ini berkat kepemimpinan brilyan Lee Kuan Yew. Dia berhasil menjadikan Singapura menjadi pusat ekonomi di Asia Tenggara, walaupun tidak memiliki satu sumber alampun, kecuali letak strategis. Suatu pencapaian yang fantastis.

Malaysia merasa tertinggal dan ini sangat mengganggu harga diri, karena Singapura dulunya adalah bagian Malaysia. Apalagi ada sentimen etnis di situ. Singapura didominasi etnis Cina, Malaysia didominasi etnis Melayu. Keadaan Malaysia berubah, setelah muncul pemimpin bervisi, yaitu: Mahathir Mohamad. Dia membangkitkan kesadaran bangsanya untuk maju dan sejahtera. Visi Mahathir ditambah lagi dengan konfrontasi positif dengan Singapura, akhirnya mampu membawa Malaysia ke taraf yang lebih baik. Walaupun belum dapat mengungguli semua bidang, namun Malaysia saat ini sudah dapat menegakkan kepalanya di hadapan Singapura.

Kedua negara ini, Singapura dan Malaysia masih terus menerus berkonfrontasi positif untuk saling memajukan bangsanya, membuat berbagai pencapaian, tanpa harus melakukan perang bodoh yang menyengsarakan rakyat.

Di tempat lain ada juga contoh serupa. Korea Selatan dan Jepang adalah juga musuh bebuyutan. Korea Selatan sangat memusuhi Jepang, karena Jepang pernah menjajah mereka. Kebencian itu juga disalurkan secara positif dengan bekerja keras penuh kesungguhan untuk mengalahkan Jepang. Apapun yang diproduksi Jepang selalu dikuntit habis-habisan oleh Korea Selatan. Mobil, produk audio visual, handphone, peralatan rumah tangga adalah medan “konfrontasi positif” Jepang dengan Korea Selatan. Dan sekarang prestasi Samsung sudah berhasil melampaui Sony.

Tidak hanya soal itu, bahkan untuk penyelenggaraan Piala Dunia sepakbola tahun 2002 lalu, Korea Selatan juga tidak mau kalah dengan Jepang untuk menjadi tuan rumah. Sehingga diputuskan mereka menjadi tuan rumah bersama. Dengan pencapaian semua itu, akhirnya Korea Selatan sekarang sudah sanggup menegakkan kepala saat berhadapan dengan Jepang.

Begitu juga yang terjadi antara RRC dengan Taiwan. Kedua negara memang saling membenci satu sama lain. Tapi kebencian itu disalurkan dengan saling mempertontonkan kekuatannya pada hal-hal positif, seperti pertumbuhan ekonomi, kemajuan industri dan pencapaian teknologi. Sehingga hasil akhirnya, kedua negara tersebut sama-sama maju.

Memang ada contoh jelek reaksi bersaing antar bangsa, yaitu: reaksi Pakistan dalam perseteruannya dengan India. Pakistan hanya fokus pada satu hal saja untuk menghadapi India, yaitu teknologi militer. Pakistan berhasil mengimbangi prestasi bom nuklir India. Pakistan sama sekali tak pernah berpikir menyaingi Banglore. Reaksi negatif ini membuat kemajuan yang dicapai sama sekali tidak berpengaruh terhadap kesejahteraan Pakistan.

***

Kasus perseteruan Indonesia dengan Malaysia dalam memperebutkan blok Ambalat harus diambil hikmahnya oleh pemimpin-pemimpin Indonesia. Blessing in disguise. Reaksi kita harus positif. Tentu saja penggunaan kekuatan militer pun tidak boleh dikesampingkan. Namun lebih jauh dari itu, kita harus bisa ber”konfrontasi positif” dengan Malaysia. Kita harus bertekad untuk habis-habisan meraih kemajuan bangsa.

Reaksi primitif seperti demonstrasi anti Malaysia dan kesiapan warga sipil untuk perang sebaiknya diganti saja dengan hal yang lebih bermanfaat. Slogan “Ganyang Malaysia” diganti saja dengan “Lebih Hebat Dari Malaysia”. Kita memang harus lebih hebat dari Malaysia di bidang pertumbuhan ekonomi, pencapaian teknologi, kemajuan industri, administrasi pemerintahan, pendidikan, kesehatan dan terutama, kesejahteraan rakyat.

Memang untuk mencapai Indonesia yang lebih baik itu, kita butuh pemimpin cerdas, bervisi dan dapat memberikan teladan. Di sinilah mungkin letak masalah utama bangsa Indonesia.

Akhirnya, mudah-mudahan perseteruan kita dengan Malaysia saat ini mendatangkan hikmah bagi bangsa Indonesia. Ini mungkin petunjuk, wangsit dari Tuhan Yang Maha Esa bagi bangsa Indonesia untuk melangkah ke depan menuju bangsa yang maju, bermartabat dan sejahtera. Biar kita bisa menegakkan kepala kembali.

*****

Wednesday, June 10, 2009

Pasar Ekonomi dan Pasar Politik

Sebagian bangsa kita memiliki sikap mendua terhadap pasar. Untuk urusan ekonomi sebagian takut terhadap pasar yang bebas, sebaliknya untuk urusan politik kita semua menyerahkan segala urusan kepada pasar. Kita takut pada pasar bebas ekonomi, tapi mengapa kita tak pernah takut terhadap pasar bebas politik?

Pasar memiliki mekanisme sendiri dalam memilih sesuatu. Pelaku pasar, penjual dan pembeli memiliki mekanisme pemilihan produk yang tidak selalu gampang dijelaskan.

Dalam dunia ekonomi produk yang laku tidak selalu berhubungan dengan kualitas. Penyanyi yang bersuara emas tidak selalu yang paling laku di pasaran. Produk unggulan tidak selalu yang paling laku di pasaran. Begitu juga dengan dunia politik. Orang yang dipilih langsung oleh rakyat tidaklah selalu mencerminkan hal yang terbaik. Politikus yang benar-benar cerdas, tulus mengabdi tidak selalu berhasil menang dalam pemilihan. Partai dengan konsep bagus bisa dikalahkan oleh partai yang memiliki tokoh populer. Itulah pasar.

Karena sifat pasar yang sukar dijelaskan ini, pasar bisa menuntun ke kehancuran ekonomi maupun ke arah politik yang tak membawa hasil kesejahteraan rakyat. Pasar – baik pasar ekonomi maupun pasar politik – yang dibiarkan bebas bisa berakibat sama dengan pasar yang terlalu diatur.

Dengan semua kondisi pasar seperti ini seharusnya bangsa Indonesia memiliki sikap yang konsisten terhadap pasar.

Baru-baru ini diskusi arah ekonomi kita dipenuhi kecaman terhadap sistem ekonomi neoliberalis yang memuja kebebasan pasar. Begitu banyak cuap-cuap bahwa ekonomi tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada pasar. Pasar bebas akan mengundang krisis ekonomi. Pasar bebas akan membawa bangsa ini ketidak adilan ekonomi. Yang kaya akan makin kaya, yang miskin makin miskin.

Padahal di sisi politik kita melakukan sebaliknya. Mengapa bangsa ini sangat tidak mau kritis terhadap pasar politik? Mengapa bangsa ini memiliki keyakinan penuh terhadap kebebasan dalam demokrasi politik? Mengapa hampir tidak aktifis yang memiliki prediksi terhadap kegagalan pasar politik? Mengapa tidak dilihat kemungkinan pemilihan pemimpin langsung terutama di daerah-daerah akan menghasilkan pemimpin pas-pasan yang memang sesuai selera rakyat, namun tidak memiliki kapasitas dalam membangun daerah? Bagaimana kita bisa yakin dengan banyaknya pemilu dan pilkada, dengan pemimpin yang berbagai macam aliran politik dan kualitas akan mampu menjalankan kebijakan pembangunan nasional yang koheren? Mengapa tidak ada yang takut Indonesia menjadi negara gagal karena hiruk pikuk politik, yang menjauhkan kita dari pembangunan yang terrencana, koheren dan konsisten?

Sampai saat ini, kecuali Pak Yusuf Kalla yang akan berupaya mengurangi jumlah pilkada dan menyederhanakan sistem politik, hampir tidak ada tokoh yang memperhatikan kerumitan dan mahalnya sistem politik kita yang menganut pasar bebas ini.

Cina, Malaysia, Singapura adalah contoh yang baik dari negara yang kritis terhadap pasar bebas politik. Dan pengalaman mereka menunjukkan pasar politik yang bebas bukanlah segalanya. Mereka telah membuktikan intervensi pemerintah terhadap pasar politik pun dapat membawa kepada kesejateraan rakyat.

* * *

Bagaimana bersikap terhadap pasar adalah yang harus menjadi perhatian kita semua. Jika ingin kritis terhadap pasar, kritislah terhadap pasar di seluruh bidang.

Mengapa orang Indonesia tidak kritis? Saya kira ini berhubungan dengan pola pikir kita. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang mudah terjebak dalam dogma. Kita gampang tertipu dengan berbagai hal tanpa meletakkan hal tersebut dalam suatu cara pandang utuh. Akibatnya di suatu ujung kita terjebak dalam stigma neoliberalisme, sedangkan di ujung lain kita terjebak dengan janji manis demokrasi.

Menurut saya bangsa Indonesia ini suka terhadap konsep wangsit, suatu ide yang tiba-tiba jatuh dari langit, sementara orang lain melahirkan konsep berdasarkan realita.

Semua kebijakan barat – termasuk pada tanggapan terhadap mekanisme pasar – mengacu pada realitas. Adam Smith melahirkan konsep tangan Tuhan berdasarkan pengamatan terhadap realitas, begitu pula Karl Marx melahirkan komunisme juga bergasarkan pengamatan lapangan. Begitu seterusnya ketika Keynes menganjurkan intervensi pemerintah terhadap ekonomi juga semata-mata berdasarkan kenyataan lambannya mekanisme pasar dalam memulihkan ekonomi. Sampai akhirnya Reagan dan Thatcher mengusung neoliberalisme juga semata-mata berdasarkan kenyataan kegagalan bentuk negara yang gemuk, lamban dan penuh intervensi di era akhir 70 an.

Dalam bidang pasar politik, ini sisi yang jarang dilihat orang mengapa pemimpin-pemimpin di negara-negara Cina, Malaysia, Singapura sangat memperhatikan faktor stabilitas politik dan tidak mau menelan mentah-mentah dogma mekanisme pasar bebas dalam ranah politik. Mereka menggunakan otaknya dalam menghadapi pasar bebas politik.

Akhirnya, kita harus kritis terhadap pasar. Pasar bebas tidak selalu berhasil atau terlalu lamban, dan oleh karena itu intervensi yang sesuai diperlukan. Kita bisa belajar dari kegagalan pasar bebas, baik di dunia ekonomi maupun politik. Semua hal yang dibiarkan bebas tak terkendali akan menghasilkan 'chaos'.

* * * * *

Sunday, June 7, 2009

Menggugat Ekonomi Kerakyatan

Manakah lebih yang lebih baik bagi suatu negara, memiliki 1 orang Bill Gates atau 1000 pedagang/produsen gethuk lindri? Manakah yang lebih baik bagi suatu negara, memiliki 1 produsen dengan nilai tambah tinggi atau 1000 produsen dengan nilai tambah rendah?

Di Bangladesh ada Muhammad Yunus, pemenang Nobel dan pahlawan produsen atau pedagang miskin. Tapi semua ini tak berarti apa-apa bagi perekonomian negara. Toh Bangladesh masih termasuk negara miskin. Kekuatan ribuan bahkan jutaan produsen nilai tambah rendah tak berarti apa-apa bagi kemajuan suatu negara.

Produk bernilai tambah rendah akan menghasilkan penghasilan kecil. Penghasilan kecil akan menghasilkan konsumsi yang juga kecil. Tidak banyak variasi barang dan jasa yang bisa dibeli orang yang berpenghasilan kecil, sehingga secara kumulatif ekonomi suatu negara tidak akan pernah berkembang pesat.

Sebaliknya jika di suatu negara ada industri bernilai tambah tinggi, apalagi kemudian industri ini menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, maka dapat dipastikan rakyat di negara itu akan sejahtera. Penghasilan tinggi atau orang kaya akan bisa membeli banyak barang dan jasa. Aktivitas ekonomi akan sangat berkembang di situ. Dan efek dari konsumsi orang kaya ini akan bergerak jauh sehingga akhirnya akan mencapai pedagang kecil juga.

Jadi, lebih berguna bagi suatu negara memiliki Bill Gates daripada memiliki Muhammad Yunus.

* * *

Dalam menyejahterakan rakyatnya, pemerintah seharusnya mengarahkan semua sumberdaya untuk suatu kegiatan ekonomi nilai tambah tinggi. Semenjak Habibie hampir tidak ada pemimpin yang menyadari hal ini.

Bangsa Indonesia mungkin belum memiliki banyak usahawan teknologi nilai tambah tinggi. Ada beberapa yang menghambat itu yaitu: (i) orang yang memiliki bakat teknologi sekaligus sebagai wirausaha jumlahnya tidak terlalu banyak dan (ii) iklim bisnis teknologi tinggi yang memiliki resiko besar tidak memiliki dukungan yang kuat di sini.

Tapi banyak jalan menuju Roma. Indonesia bisa mengembangkan industri bernilai tambah tinggi dengan 2 cara, yaitu: (i) meningkatkan peran BUMN yang bergerak di ekonomi nilai tambah tinggi dan (ii) mengundang produsen produk bernilai tambah tinggi untuk berinvestasi di sini.

Sebagai negara dengan ekonomi skala besar sangat mudah bagi Indonesia untuk menemukan pasar dan secara bertahap meningkatkan kemampuan menambah nilai suatu produk.

Indonesia tidak seharusnya membeli lagi dalam jumlah besar, kereta api bekas dari Jepang, panser dari Perancis dan kapal dari Jerman. PT. Inka harus didukung untuk meningkatkan kemampuan teknologinya untuk membuat kereta api. Begitu pula PT. Pindad, PT. PAL dan PT. DI harus didukung untuk membuat lebih banyak dan lebih baik dari produk seperti panser, senjata, kapal ataupun pesawat dan helikopter. Lebih jauh lagi, lebih baik mendirikan pabrik biodiesel dalam skala besar daripada mengimpor BBM.

Semua produk ini memiliki pasar di dalam negeri yang sangat terjamin sehingga setiap BUMN ini akan mampu terus menerus meningkatkan teknologinya. Pada akhirnya ketika produk sudah kompetitif, BUMN akan mampu melakukan ekspor dan bersaing dengan produk dari negara lain.

Indonesia juga bisa mengembangkan ekonomi nilai tambah tinggi ini dengan mengundang investasi asing dari perusahaan-perusahaan unggulan dunia untuk membuat investasi di sini. Keuntungannya iklim bisnis kita akan terpengaruh suasana industri teknologi unggulan yang dalam jangka panjang bisa menjadi inspirasi untuk berinovasi. Sedangkan dalam jangka pendek, tenaga kerja dan industri lokal dapat berperan sebagai pemasok dalam jaringan industri bernilai tambah tinggi ini.

* * *

Paradigma ekonomi kerakyatan sangat menyesatkan dan memiliki logika yang lemah sebagai jalan untuk menyejahterakan rakyat. Hanya aktivitas ekonomi yang bernilai tambah tinggi yang akan bisa melakukan itu.

Secara ringkas kita dapat menyimpulkan jalan kesejahteraan sebagai berikut. Tujuan utamanya adalah meningkatkan penghasilan rakyat secara keseluruhan. Agar rakyat berpenghasilan tinggi, maka rakyat harus berada dalam kisaran aktifitas ekonomi dengan nilai tambah tinggi. Ada perusahaan yang memimpin inovasi di suatu bidang yang dipilih, sementara yang lain bisa menjadi pemasok. Jika di negara itu tidak ada orang yang jago berinovasi semacam Bill Gates, maka yang diperlukan adalah negara mengambil peran Bill Gates itu melalui BUMN untuk suatu bidang. Untuk bidang dimana tidak ada BUMN yang bisa menjadi Bill Gates, maka yang perlu dilakukan negara adalah mengundang Bill Gates untuk berinvestasi di sini.

Sekali lagi, bukan ekonomi kerakyatan yang kita perlukan, tapi ekonomi nilai tambah tinggi!

* * * * *

Monday, June 1, 2009

Education For Productivity

Welfare is the main goal of any nation. As long as one nation cannot discover a big oil field, their welfare only comes from high productivity where input is processed to be high output.

Input can be found everywhere, but the output is merely based on the capacity of how each nation processing it. For instance iron is found everywhere, included in poor country, but the Japanese create those irons to be the best car in the world. Imagination is found everywhere, included in poor country, but the Americans create those imaginations to be the best film or best software in the world.

The welfare difference among nations is caused of how they benefit any input. The more output they can create, the more welfare they can can get. And high productivity is parameter of high output.

In detail the sources of productivity can be divided into 2 types, namely: (i) added value, (ii) production efficiency.

Added value process is to enhance the value of input. An input is processed through innovation, so the output higher and higher. Iron is added by values, it becomes a car. An ordinary car is added by specific values and it becomes Lexus.

Efficiency is the process to decrease input to get at least the same output. This is the added value of production process. Henry Ford innovated the car production process for the cheaper car price. Instead of making cars one by one, he introduced the system of line production where the components of a car are produced separately and they are assembled through conveyor belt.

Both of productivity sources depend on knowledge capacity of human resources. And knowledge depends on education in formal or informal way. Innovation only comes from the better understanding of knowledge. Certainly business profit also encourages innovation.

The data show how superior developed nations on innovation. During 1980 – 1999, the Arabs resulted in 171 international patents, while South Korea resulted in 16.328. And Hewlett Packard, the American multinational company, patented 11 new innovations everyday.

The harsh competition in business compels any business entity to innovate everyday. So the government has to support business competitiveness through the right education policy.

To maintain the competitiveness and domination of Toyota and Sony, the Japanese system of education must always be improved to create the best mechanical and best electrical engineer. To maintain the competitiveness and domination of Microsoft and Intel, the American system of education must always be improved to create the best information technology specialist.

* * *

There 2 conditions of Indonesia concerning with education for productivity, namely: (i) education effectiveness, (ii) link and match between research and industry.

First, there is an example that proves our education has no clear objective.

As the the governor of Gorontalo Province, once Fadel Muhammad visited the local vocational school. He found the teacher was teaching train technology to the pupils. He wondered there was no train in Gorontalo Province and there was no plan to develop train as transportation system. Then he asked the teacher whether the teacher had seen the train before. Fadel got the funny answer that the teacher had never traveled by train and even he never seen the train directly, except from the picture!

It is clear that Gorontalo's pupil do not need to learn the train technology because it will never add value to the pupils and to economic development of Gorontalo province.

In contrast Gorontalo province has many boats for fishing. Technology development for boats will be valuable. So the education in Gorontalo should focus on boat technology rather than train technology.

Certainly the basic science and skill such as math, physics, chemistry, English is important, but for practical objective the knowledge taught should be in line with the local economic development.

Some research point out that the existence of Silicon is full supported by the existence of Stanford University and California University.

Second, there is no link and match between industry and research.

In 2008, the government through Ministry of Research and Technology established Business Development Center. This institution is to bridge industry and research.

Until now there is a hundred of innovative products. However this does not influence much to economic progress. Those products cannot benefit to economy because they cannot link and match with market demand. They have never reached the level of mass production.

The executive director of Business Innovation Center (BIC), Kristanto Santosa, may have the right statement. He said that all we need is the leader who have great passion on innovation spirit. Since Habibie era, we have no leaders who paid the great attention to innovation. Only Pak Habibie has awareness of “added value” to guide government policy. So what we need now is the new leader like Habibie.

* * * * *