Amerika Serikat dan negara-negara Barat maju. Mereka adalah penguasa bumi ini. Paling tidak untuk saat ini. Dan semua negara itu adalah negara demokrasi. Maka kita suka menyimpulkan semua negara demokrasi adalah negara maju. Atau syarat untuk menjadi negara maju adalah dengan menjalankan sistem demokrasi. Benarkah?
Singapura bukanlah negara demokrasi, walaupun seperti negara demokrasi. Tapi Singapura adalah termasuk negara paling makmur di dunia. Cina jelas bukan negara demokrasi. Namun kemajuan ekonomi Cina menggetarkan semua orang. Kemungkinan besar Cina akan segera menjadi negara maju. Dengan demikian terbukti Singapura dan Cina telah mematahkan mitos demokrasi sebagai syarat untuk menjadi negara maju.
Lalu adakah kesamaan negara-negara Barat yang demokratis dengan Singapura atau Cina yang tidak demokratis? Ada! Meritokrasi! Meritokrasi adalah sistem yang membuat yang paling berkompetenlah yang berkuasa. Di barat dan di timur yang maju itu ada meritokrasi.
Meritokrasi di Barat diperoleh melalui pemilihan umum. Calon pemimpin (kepala pemerintahan ataupun partai) menyiapkan diri dari awal, mulai dari citra pribadi sampai program kerja. Kemudian hal ini dikampanyekan secara terbuka dan dikompetisikan dengan calon pemimpin yang lain. Semua ini didukung pula oleh rakyat yang terdidik yang bisa memilih secara rasional dan obyektif.
Sementara itu meritokrasi di Timur diperoleh melalui rekrutmen putra terbaik bangsa sejak awal. Putra-putri terbaik itu diseleksi dari awal untuk diberikan berbagai pendidikan dan penugasan. Yang terbaik dari yang terbaik-terbaik itulah yang diberikan kesempatan untuk memimpin dan berkuasa. Dan secara kebetulan Cina dan Singapura penganut ajaran Konfusius yang memang mengedepankan meritokrasi.
Dengan meritokrasi maka negara akan diurus oleh orang yang kompeten. pembangunan negara direncanakan dan dilaksanakan dengan baik sehingga negara akan maju. Apalagi meritokrasi ditambah dengan stabilitas stabilitas negara, maka pembagunan oleh putra terbaik itu akan berkeseninambungan. Inilah resep sukses negara maju itu.
Monday, September 15, 2008
Makna Puasa
Puasa tidak perlu lagi dipandang dari sisi agama saja ataupun perintah Tuhan saja, tapi bisa dipandang dari sisi pengetahuan moderen. Puasa adalah latihan penyangkalan diri untuk tidak makan, minum, berhubungan seks, marah dan lain-lain. Puasa adalah soal penaklukan insting hewani – sebagai usaha untuk bertahan hidup - yang ada di dalam diri manusia.
Di sini kita temukan lagi irisan makna puasa dengan mental dahulukan yang utama itu. Puasa mengajarkan disiplin mental itu. Pilihan orang tidak lagi bergantung pada situasi yang disenangi, tapi berdasarkan kendali diri. Hanya orang yang memliiki disiplin mental yang tinggi yang sanggup melakukan langkah dengan tekun menuju suatu tujuan dan melawan godaan kemalasan dan kesenangan sesaat.
Manusia itu baru jadi manusia kalau dia bisa berada di atas hawa nafsunya sendiri. Ketika manusia sejajar dengan hawa nafsunya, maka dia tak ubahnya seperti kuda, kadal dan trenggiling. Latihan puasa inilah akan membuat manusia naik satu level di atas binatang-binatang itu. Ketika manusia bisa menentukan arah sendiri – bukan sekedar dituntun oleh hawa nafsu – manusia telah menjadi raja sementara jasadnya cuma sekedar hamba.
***
Sungguh menarik pengetahuan moderen menemukan pentingnya penyangkalan diri ini sebagai suatu proses pengembangan diri. Paling tidak, ada 2 (dua) buku fenomenal yang ada hubungan dengan latihan puasa ini.
Daniel Goleman membahas hal ini dalam buku fenomenalnya: Emotional Intelligent. Suatu penelitian menemukan bahwa penyangkalan diri berupa kemampuan menahan godaan terbukti menunjang keberhasilan hidup. Sekelompok anak-anak TK diberi 'umpan' gula-gula. Siapa yang menerima gula-gula saat itu, maka dia akan dapat satu gula-gula saja. Sementara siapa yang mau menunggu, maka dia akan mendapat dua gula-gula. Puluhan tahun kemudian ditemukan bahwa anak-anak yang bisa menahan diri ternyata lebih sukses di kehidupan nyata, daripada anak-anak yang mudah tergoda. Daniel Goleman menegaskan kemampuan mengendalikan dorongan hati adalah kunci kecerdasan emosional.
Stephen Covey juga membahas perihal pengendalian dorongan hati dalam bukunya yang juga fenomenal 7 Kebiasaan Manusia Efektif. Untuk meraih kemenangan pribadi ada 3 kebiasaan yang diperlukan, yaitu: (1) proaktif, (2) merujuk pada tujuan akhir, dan (3) dahulukan yang utama (Put first things first).
Ketika kita proaktif, kita menyadari ada ruang kosong antara stimulus dan respon. Dan kitalah yang memilih sepenuhnya akan kita isi apa ruang kosong itu. Dan soal pertama yang harus dilakukan adalah latihan memisahkan stimulus dan respon. Inilah yang dilatihkan dalam puasa itu. Puasa menjadikan manusia sais yang mengendalikan kuda nafsu.
Untuk meraih tujuan akhir termasuk tujuan jangka pendek kita perlu mendahulukan yang utama. Nah, lagi-lagi penelitian di dalam buku itu mengenai ciri orang sukses, yaitu rata-rata orang sukses tersebut selalu mendahulukan yang utama. Untuk mendahulukan yang utama itu memerlukan sikap mental mengatakan 'tidak' pada hal yang tidak penting, dan mengatakan 'ya' untuk hal yang penting. Apapun kondisinya, apapun dorongan hatinya.
Di sini kita temukan lagi irisan makna puasa dengan mental dahulukan yang utama itu. Puasa mengajarkan disiplin mental itu. Pilihan orang tidak lagi bergantung pada situasi yang disenangi, tapi berdasarkan kendali diri. Hanya orang yang memliiki disiplin mental yang tinggi yang sanggup melakukan langkah dengan tekun menuju suatu tujuan dan melawan godaan kemalasan dan kesenangan sesaat.
***
Ada kebenaran perkataan Kanjeng Nabi mengenai kesia-siaan orang yang berpuasa, yang cuma mendapat lapar dan haus saja. Makanya puasa hampir tak punya korelasi yang dengan kemajuan mental Muslim. Padahal jelas pengetahuan modern mengenai pentingnya penyangkalan diri sangat erat berhubungan dengan latihan puasa ini. Apakah ini akibat ritual agama selalu dihubungkan dengan langit, dan bukan dengan pengalaman empiris manusia?
Subscribe to:
Posts (Atom)