Thursday, February 19, 2009

Negara Kesejahteraan Versi NKRI

Gubernur Sumatera Selatan membuat gebrakan hebat. Sesuai dengan janji kampanyenya, rakyat Sumatera Selatan akan menikmati dua hal yang gratis, yaitu: pendidikan dan pengobatan. Langkah ini termasuk luar biasa, karena ini pertama kalinya kebijakan gratis diterapkan dalam cakupan satu provinsi.

Sebelum Provinsi Sumatera Selatan, beberapa kabupaten sudah melakukan kebijakan pendidikan gratis. Secara nasional, pemerintah pusat juga melakukan kebijakan jaminan sosial dengan program bantuan langsung tunai, beras untuk orang miskin dan pembiayaan kesehatan bagi orang miskin.

Memang langkah Indonesia menuju negara kesejahteraan (welfare state) masih sangat jauh. Beberapa kebijakan yang belum dilakukan sebagai syarat negara kesejahteraan adalah jaminan penghasilan bagi orang yang kehilangan pekerjaan dan jaminan hari tua bagi semua penduduk.

Inspirasi negara kesejahteran memang didapat dari negara-negara Eropa. Dengan segala variasinya, negara kesejahteraan di Eropa berusaha mengurus rakyatnya dari lahir hingga meninggal.

Negara kesejahteraan ini membutuhkan biaya yang sangat besar. Negara memberlakukan pajak yang sangat tinggi. Dan untuk itu diperlukan pertumbuhan ekonomi yang stabil. Jika pertumbuhan ekonomi menurun, pendapatan negara berkurang, sementara beban negara tetap bahkan bertambah oleh pengangguran, maka dapat dibayangkan betapa beratnya menjalankan sistem negara kesejahteraan.

Fakta yang ada sekarang, hampir semua negara kesejahteraan mengalami kemunduran. Swedia sebagai benteng terakhir kehebatan negara kesejahteraan juga mengalami kemunduran.

Futurolog John Naisbitt dalam bukunya Mind Set, membahas khusus kemunduran Eropa ini. Dia mengatakan tanpa ladang minyak seukuran seperti yang ditemui di Arab Saudi, sistem jaminan sosial Eropa tidak bisa dibiayai. Negara kesejahteraan akan bangkrut.

* * *

Indonesia memang belum menjadi negara kesejahteraan. Dan Indonesia mempunyai masalah besar dalam menuju cita-cita negara kesejahteraan ini, yaitu: kekayaan Indonesia terbatas.

Kekayaan alam Indonesia memang banyak, tapi tetap terbatas untuk membiayai negara kesejahteraan. Ladang minyak luar biasa besar belum ditemukan. Selain itu kehidupan bisnis yang dinamis, yang bisa menghasilkan pajak yang juga luar biasa, belum terjadi di Indonesia.

Masalah utama kita sekarang adalah kebijakan ala negara kesejahteraan yang diterapkan secara lokal di suatu daerah sangat mencederai prinsip keadilan. Adilkah dalam negara kesatuan RI, rakyat di Sumatera Selatan memperoleh pendidikan dan pengobatan gratis, sementara di Kalimantan Barat tidak?

Jika semua daerah memberikan jaminan sosial yang sama tentu saja ini adil. Namun kebijakan saat ini adalah tidak sama. Ada daerah yang memberikan hal dasar gratis, sementara di daerah lain menghadapi masalah gizi buruk. Ini tidak adil.

Biasanya daerah yang mampu memberikan hal gratis ini adalah daerah yang kaya sumberdaya alam seperti Sumatera Selatan. Dana bagi hasil sumberdaya alam membedakan daerah kaya dan daerah miskin. Daerah kaya sumberdaya alam bisa memperoleh sampai 70% dana bagi hasil.

Soal pendapatan masing-masing daerah juga terjadi keanehan. Pada suatu masa negeri ini menolak mati-matian federalisme, sementara yang dilakukan justru melebihi federalisme. Christianto Wibisono pernah menulis bahwa di Amerika Serikat dan Jerman sebagai 'mbahnya' federalisme, tidak ada dana bagi hasil sebesar itu. Daerah mendapat 70%, sementara pusat mendapat komisi 30% hanya bisa terjadi di negara Republik Indonesia yang berbentuk kesatuan ini. Ini yang menyebabkan ketimpangan pendapatan antar daerah yang kaya sumberdaya alam dengan yang miskin.

Jadi kebijakan jaminan sosial yang berlaku lokal harus dikoreksi. Bagaimanapun Pancasila sebagai dasar negara masih berlaku. Sila kelima: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, masih berlaku. Semua kebijakan yang menyangkut kebutuhan dasar dan kesejahteraan rakyat harus berlaku sama di setiap jengkal wilayah Indonesia.

Keadilan sosial itulah yang menjadi tujuan kita berbangsa dan bernegara. Kalau di sini gratis, maka hendaknya gratis pula di sana. Jangan sampai di sini gratis, di sana menangis.

* * * * *

3 comments:

prihandoyo said...

Bila membaca ulang UUD 1945, akan tertangkap spirit amat kuat bahwa para founding father sejatinya ingin membangun Indonesia menjadi negara kesejahteraan modern (modern welfare state).

Simak kata-kata emas preambul konstitusi, ...membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia...untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial....

Pemikiran para pendiri bangsa tentang negara kesejahteraan lahir karena mereka mengenyam pendidikan Eropa, menjalin pergaulan intelektual dan bersentuhan dengan gagasan para pemikir sosial ekonomi, yang menganut ide modern welfare state.

Ide negara kesejahteraan modern, menjadi mainstream di Belanda, Inggris, Perancis, Jerman, dan negara-negara Skandinavia seperti Swedia, Finlandia, atau Norwegia.

Soekarno mengusung propaganda anti-neoimperilaisme dan neokolonialisme, membangkitkan semangat perjuangan politik dan membangun ekonomi berdikari. Sjahrir menjadi pemimpin Partai Sosialis Indonesia menawarkan gagasan sosialisme ekonomi. Mohammad Hatta memelopori gerakan ekonomi rakyat melalui koperasi dan pasar sosial.
Ketiga tokoh itu, meski akhirnya menempuh jalan politik berbeda, memiliki gagasan sama dalam membangun negara kesejahteraan.

Prasasti said...

DBH diberlakukan untuk memacu daerah supaya lebih optimal dalam meningkatkan pengelolaan dan hasil dari sumber dayanya. Besides, tujuan paling besar sebenarnya untuk memberantas bibit separatisme, agar daerah penghasil tidak merasa diperlakukan sebagai sapi perah. Ingat juga kita punya DAU, daerah yang dalam kondisi "rugi" sekali pun dibiayai dari dana ini, cukup adil bukan? Sejauh ini saya rasa sistem kita sudah ke arah yang baik dan semoga lebih baik lagi. Salam.

Luthfi MH said...

saya menangkap adil yang anda maksud itu sama rata, equality. tapi kok saya punya pandangan lain ya. kalo yang anda maksudkan equality of outcome, dengan menggratiskan pendidikan dan pengobatan di suatu daerah berarti harus pula menggratiskannya di daerah lain berarti beban negara akan sangat besar. dan ini ga efisien. karena tiap daerah berbeda kebutuhannya. jika di daerah lain ada prioritas yang harus 'digratiskan' selain kedua itu, kenapa harus ngotot harus digratiskan juga. bukankah adil itu proper? dan proper itu equality of right? artinya tiap daerah bebas menentukan. hal ini sesuai dengan konsekuensi otonomi daerah yang udah berlangsung lebih dari 10 tahun. kalo daerah memang diberi porsi besar, sudahlah jangan ribut. memang sih mestinya "jatah" mereka dikurangi mengingat ini udah 10 tahun lebih dan proses demokratisasi harusnya sudah mapan. tapi kan otonomi daerah juga menuai banyak masalah.

jadi sebenarnya menurut saya negara kita masih jauh dari yang dikatakan 'negara kesejahteraan'. istilah inipun perlu diverifikasi, apakah negara kesejahteraan yang diinginkan itu mengikuti pola negara2 skandinavia atau "kesejahteraan" dalam arti lain yang berbeda sama sekali dengan di sana? sebab indonesia punya kultur yang amat berbeda, sejarah dan kondisi sosial ekonominya pun berbeda jauh. jika kita paksakan mengikuti negara2 kesejahteraan ala skandinavia bisa berat. tapi kalau kita mau konsisten dengan falsafah bangsa yg dirumuskan founding fathers kita, seperti yang dikatakan MK, maka kita harus menganut konsep negara kesejahteraan itu. Mahfud mengartikan kesejahteraan di sini sebagai "...lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan, baik kebutuhan jasmani maupun rohani. Negara kesejahteraan berdasarkan Pancasila itu selalu memperpendek kesenjangan antara yang kaya dengan yang miskin.”