Wednesday, October 21, 2009

Xenophobia

Parafrase Aristoteles: “Siapapun bisa xenophobia – xenophobia itu mudah. Tetapi xenophobia pada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan dengan cara yang baik – bukanlah sesuatu yang mudah.”

Sejalan dengan arus globalisasi, setiap bangsa dipaksa untuk saling berhubungan. Hubungan antar bangsa ini bisa menguntungkan maupun tidak. Penanaman modal asing dapat memacu pertumbuhan ekonomi, namun dominasi asing di suatu sektor dapat mengurangi penerimaan negara. Karena adanya dampak yang merugikan itu mengharuskan setiap bangsa melakukan seleksi terhadap kepentingan asing di negaranya. Sikap xenophobia – ketakutan terhadap orang asing – tidak bisa dipandang sekedar kebijakan hitam atau putih, namun harus dikaitkan dengan konteks yang sesuai.

Indonesia kelihatan gamang terhadap arus globalisasi. Pemerintah terlihat bingung dengan sektor mana yang harus diliberalisasi, sektor mana yang tidak. Beberapa fakta menunjukkan pemerintah Indonesia bersama Dewan Perwakilan Rakyat melakukan kesalahan fatal dalam berhubungan dengan orang asing. Sektor yang harusnya dikelola sendiri justru diberikan kepada bangsa asing, sementara sektor yang seharusnya mengundang bangsa asing justru malah diabaikan.

Ada 2 (dua) sektor yang mencolok mata yang menunjukkan Indonesia melakukan kebijakan yang tidak tepat, yaitu: sektor migas dan sektor perbankan.

Untuk sektor migas Indonesia melakukan hal yang ironis sekali. Pemerintah seperti menari dengan hentakan gendang orang asing. Pertamina, sebagai perusahaan milik bangsa, justru dikebiri, sementara perusahaan asing diberi ruang gerak sebebas-bebasnya untuk mengeruk keuntungan dari bumi Indonesia.

Pakar perminyakan, Kurtubi, menguraikan fenomena yang memilukan ini. Pertamina adalah penggagas sistem kontrak production sharing (KPS) yang relatif lebih menguntungkan dibanding sistem yang lain. Sistem ini kemudian diadopsi oleh berbagai negara. Namun ironisnya melalui Undang-Undang Migas No 22/ 2001, sistem yang menguntungkan ini justru ditinggalkan. Kuasa pertambangan yang dulunya monopoli Pertamina dicabut. Ruang gerak Pertamina dibatasi sementara perusahaan minyak asing diberi keleluasaan gerak. Pertamina, di tanah airnya sendiri, diperlakukan sama seperti halnya perusahaan asing.

Akibat kebijakan ini bisa ditebak, Pertamina makin babak belur. Pertamina bukan apa-apa, bahkan dibandingkan dengan perusahaan kemarin sore, Petronas, yang justru mengadopsi sistem KPS Pertamina.

Sementara itu di sektor perbankan, Indonesia pun melakukan kebijakan yang terlalu liberal, bahkan lebih liberal dari negara yang paling liberal dalam mengundang orang asing.

Perbankan adalah salah satu tulang punggung perekonomian nasional yang memiliki nilai strategis, sehingga banyak negara yang paling liberal pun membatasi kepemilikan asing. Kepemilikan asing perbankan di AS maksimal 30%, RRC 25%, Australia 15%, India 49%, Korsel 30%, Malaysia 30%, Vietnam 30%, Filipina 51%, Thailand 49%. Sementara Indonesia membolehkan kepemilikan asing hingga 99%.

Cina yang merupakan negara yang paling ramah pada investor asing, mempersulit pihak asing untuk berkiprah di sektor perbankan. Bank Mandiri mengalami kesulitan dalam mengembangkan operasinya di Cina. Otoritas perbankan di Cina selalu membuat peraturan yang membatasi ruang gerak Bank Mandiri di sana.

Xenophobia pada bidang perbankan sesungguhnya bisa dimaklumi. Berberapa ancaman nyata perbankan asing adalah (i) perbankan nasional akan semakin terdesak dalam kompetisi dalam negeri, (ii) sebagian besar bank asing bisa hanya bermain di segmen konsumsi yang tidak produktif yang tidak mendorong nilai tambah perekonomian domestik.

Itulah dua contoh betapa buruknya manajemen negara ini dalam mengatur keberadaan pihak asing di negeri ini.

Namun anehnya di tengah semarak liberalisasi di Indonesia itu, justru Indonesia sangat ketinggalan di bidang yang seharusnya perlu mengundang orang asing dengan cepat dan ramah, yaitu Penanaman Modal Asing Langsung (PMAL). Data yang dirilis Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang paling rendah menyerap PMAL. Rasio PMAL terhadap produk domestik bruto untuk Indonesia 5 persen, sementara China 11 persen, dan Vietnam 55 persen.

Ini aneh sekali, karena PMAL ini sangat penting untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. PMAL akan mampu membiayai kekurangan biaya investasi dalam negeri. PMAL akan mampu menanggulangi sektor produksi barang Indonesia yang tumbuh kurang mengesankan. Dan peningkatan sektor produksi barang ini pada akhirnya akan meningkatkan penerimaaan pajak.

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat tampaknya tidak serius mengembangkan PMAL di sektor produksi barang ini. Undang-Undang Kawasan Ekonomi Khusus (UU KEK) baru disahkan tahun 2009. Sungguh kebijakan yang sangat terlambat. Padahal banyak contoh luar biasa kemajuan ekonomi dengan mengundang asing berinvestasi di kawasan ekonomi khusus ini. Kemajuan ekonomi Cina yang spektakular adalah utamanya digerakkan oleh kawasan ekonomi khusus ini.

Dan jika Indonesia menerapkan KEK sekarang, kompetisinya akan lebih sulit lagi karena harus bersaing dengan KEK negara-negara lain. Apalagi ditambah KEK Indonesia belum operasional dalam peraturan-peraturan teknis, sehingga masih membutuhkan waktu lama mengoperasikan KEK.

Itulah anehnya bangsa kita, yang harus didahulukan dan menguntungkan malah tidak diurus, sementara yang merugikan bangsa justru sudah berlaku jauh-jauh hari.

* * * * *

1 comment:

xenophobia said...

ribet juga ya xenophobia ini ?