Wednesday, June 10, 2009

Pasar Ekonomi dan Pasar Politik

Sebagian bangsa kita memiliki sikap mendua terhadap pasar. Untuk urusan ekonomi sebagian takut terhadap pasar yang bebas, sebaliknya untuk urusan politik kita semua menyerahkan segala urusan kepada pasar. Kita takut pada pasar bebas ekonomi, tapi mengapa kita tak pernah takut terhadap pasar bebas politik?

Pasar memiliki mekanisme sendiri dalam memilih sesuatu. Pelaku pasar, penjual dan pembeli memiliki mekanisme pemilihan produk yang tidak selalu gampang dijelaskan.

Dalam dunia ekonomi produk yang laku tidak selalu berhubungan dengan kualitas. Penyanyi yang bersuara emas tidak selalu yang paling laku di pasaran. Produk unggulan tidak selalu yang paling laku di pasaran. Begitu juga dengan dunia politik. Orang yang dipilih langsung oleh rakyat tidaklah selalu mencerminkan hal yang terbaik. Politikus yang benar-benar cerdas, tulus mengabdi tidak selalu berhasil menang dalam pemilihan. Partai dengan konsep bagus bisa dikalahkan oleh partai yang memiliki tokoh populer. Itulah pasar.

Karena sifat pasar yang sukar dijelaskan ini, pasar bisa menuntun ke kehancuran ekonomi maupun ke arah politik yang tak membawa hasil kesejahteraan rakyat. Pasar – baik pasar ekonomi maupun pasar politik – yang dibiarkan bebas bisa berakibat sama dengan pasar yang terlalu diatur.

Dengan semua kondisi pasar seperti ini seharusnya bangsa Indonesia memiliki sikap yang konsisten terhadap pasar.

Baru-baru ini diskusi arah ekonomi kita dipenuhi kecaman terhadap sistem ekonomi neoliberalis yang memuja kebebasan pasar. Begitu banyak cuap-cuap bahwa ekonomi tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada pasar. Pasar bebas akan mengundang krisis ekonomi. Pasar bebas akan membawa bangsa ini ketidak adilan ekonomi. Yang kaya akan makin kaya, yang miskin makin miskin.

Padahal di sisi politik kita melakukan sebaliknya. Mengapa bangsa ini sangat tidak mau kritis terhadap pasar politik? Mengapa bangsa ini memiliki keyakinan penuh terhadap kebebasan dalam demokrasi politik? Mengapa hampir tidak aktifis yang memiliki prediksi terhadap kegagalan pasar politik? Mengapa tidak dilihat kemungkinan pemilihan pemimpin langsung terutama di daerah-daerah akan menghasilkan pemimpin pas-pasan yang memang sesuai selera rakyat, namun tidak memiliki kapasitas dalam membangun daerah? Bagaimana kita bisa yakin dengan banyaknya pemilu dan pilkada, dengan pemimpin yang berbagai macam aliran politik dan kualitas akan mampu menjalankan kebijakan pembangunan nasional yang koheren? Mengapa tidak ada yang takut Indonesia menjadi negara gagal karena hiruk pikuk politik, yang menjauhkan kita dari pembangunan yang terrencana, koheren dan konsisten?

Sampai saat ini, kecuali Pak Yusuf Kalla yang akan berupaya mengurangi jumlah pilkada dan menyederhanakan sistem politik, hampir tidak ada tokoh yang memperhatikan kerumitan dan mahalnya sistem politik kita yang menganut pasar bebas ini.

Cina, Malaysia, Singapura adalah contoh yang baik dari negara yang kritis terhadap pasar bebas politik. Dan pengalaman mereka menunjukkan pasar politik yang bebas bukanlah segalanya. Mereka telah membuktikan intervensi pemerintah terhadap pasar politik pun dapat membawa kepada kesejateraan rakyat.

* * *

Bagaimana bersikap terhadap pasar adalah yang harus menjadi perhatian kita semua. Jika ingin kritis terhadap pasar, kritislah terhadap pasar di seluruh bidang.

Mengapa orang Indonesia tidak kritis? Saya kira ini berhubungan dengan pola pikir kita. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang mudah terjebak dalam dogma. Kita gampang tertipu dengan berbagai hal tanpa meletakkan hal tersebut dalam suatu cara pandang utuh. Akibatnya di suatu ujung kita terjebak dalam stigma neoliberalisme, sedangkan di ujung lain kita terjebak dengan janji manis demokrasi.

Menurut saya bangsa Indonesia ini suka terhadap konsep wangsit, suatu ide yang tiba-tiba jatuh dari langit, sementara orang lain melahirkan konsep berdasarkan realita.

Semua kebijakan barat – termasuk pada tanggapan terhadap mekanisme pasar – mengacu pada realitas. Adam Smith melahirkan konsep tangan Tuhan berdasarkan pengamatan terhadap realitas, begitu pula Karl Marx melahirkan komunisme juga bergasarkan pengamatan lapangan. Begitu seterusnya ketika Keynes menganjurkan intervensi pemerintah terhadap ekonomi juga semata-mata berdasarkan kenyataan lambannya mekanisme pasar dalam memulihkan ekonomi. Sampai akhirnya Reagan dan Thatcher mengusung neoliberalisme juga semata-mata berdasarkan kenyataan kegagalan bentuk negara yang gemuk, lamban dan penuh intervensi di era akhir 70 an.

Dalam bidang pasar politik, ini sisi yang jarang dilihat orang mengapa pemimpin-pemimpin di negara-negara Cina, Malaysia, Singapura sangat memperhatikan faktor stabilitas politik dan tidak mau menelan mentah-mentah dogma mekanisme pasar bebas dalam ranah politik. Mereka menggunakan otaknya dalam menghadapi pasar bebas politik.

Akhirnya, kita harus kritis terhadap pasar. Pasar bebas tidak selalu berhasil atau terlalu lamban, dan oleh karena itu intervensi yang sesuai diperlukan. Kita bisa belajar dari kegagalan pasar bebas, baik di dunia ekonomi maupun politik. Semua hal yang dibiarkan bebas tak terkendali akan menghasilkan 'chaos'.

* * * * *

2 comments:

sirpetermarx.blogspot.com said...

Masalah terbesar Indonesia adalah bukan pasar atau tetek bengek ambalat dll, tapi yang penting adalah Pemberantasan korupsi di segala lini, mulailah dari diri sendiri dengan hal kecil, mulai berantas kebodohan dan perangi kemiskinan, demi kesejahteraan bangsa Indonesia.

Husnul said...

Bangsa ini memang sudah dari dahulu mengalami dualitas. Dahulu, Boeke sudah mengatakan bahwa Indonesia memiliki dualitas ekonomi yaitu ekonomi modern dan ekonomi tradisional.

Kondisi ini menyebabkan tidak bergerak majunya karena, satu kaki ditempatkan di ekonomi modern, sedangkan lain kakinya ditinggalkan di ekonomi tradisional.

Ini bisa saja karena keengganan untuk meninggalkan dogma bahwa yang tradisional itu kontraproduktif dengan yang modern. Tetapi, rupanya pilihan politik untuk langsung berpindah ke sistem politik modern seperti klaim demokrasi menjadi bumerang terhadap bangsa. Demokrasi saat ini selalu alergi dengan kisah dimasa lalu meskipun itu baik.