Monday, August 3, 2009

Mengurangi Jumlah Petani

Ciri khas negara maju adalah lebih banyak penduduknya bekerja di sektor industri dan jasa dibandingkan di sektor pertanian. Makin sedikit jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian, menunjukkan makin maju negara tersebut.

Dari data CIA – The World Factbook menunjukkan hal ini secara jelas. Amerika Serikat hanya memiliki petani sebesar 0.6% dari jumlah angkatan kerjanya, Jerman 2,4%, Jepang 4,4%, Malaysia 13%, sementara Indonesia 42,1%.

Ketika masa kampanye lalu banyak calon presiden yang berbicara soal penguatan sektor pertanian. Padahal seharusnya yang perlu dibicarakan untuk sektor pertanian adalah Indonesia harus segera melakukan transformasi penduduknya yang semula bekerja di sektor pertanian menjadi bekerja di sektor industri.

Transformasi ini adalah model umum semua negara maju. Kecuali Singapura yang tidak memiliki tanah pertanian, semua negara maju mengalami transformasi dari negara pertanian menjadi negara yang fokus pada industri dan terakhir fokus pada jasa.

Pemikir Perancis, Jean Fourastie, membagi tahapan transformasi struktural negara menjadi negara maju yang dilihat dari transformasi struktur tenaga kerja. Dia membagi komposisi tenaga kerja menjadi 3, yaitu: sektor primer (pengolahan bahan mentah menjadi bahan baku, dari hasil pertanian hingga barang tambang), sektor sekunder (pengolahan bahan mentah menjadi barang jadi) dan sektor tersier (sektor jasa).

Tahap pertama adalah “peradaban tradisional” dimana komposisi tenaga kerja adalah 70% bekerja di sektor primer, 20% di sektor sekunder dan dan 10% di sektor tertier. Negara yang berada di fase ini tidak banyak menggunakan teknologi.

Tahap kedua adalah “periode transisi” dimana komposisi tenaga kerja adalah sektor primer 20%, sekunder 50% dan tertier 30%. Negara pada fase ini banyak menggunakan teknologi untuk sektor pertanian sehingga tenaga kerja sektor pertanian bisa berkurang drastis. Industrialisasi dimulai dengan memanfaatkan teknologi untuk menghasilkan berbagai macam barang jadi.

Ketika suatu negara sudah mencapai tahap kedua, maka suatu negara sudah mulai menuju kemakmuran. Nilai tambah produk jadi adalah lebih besar daripada komoditi. Nilai 1 kg besi berbentuk mobil adalah lebih mahal daripada 1 kg besi mentah. Apalagi harga komoditi sangat gampang berubah, sementara harga barang jadi tidak. Ditambah lagi dengan bekerja di sektor yang memiliki nilai tambah besar, maka pekerja akan dapat menikmati penghasilan yang lebih tinggi.

Tahap ketiga adalah “peradaban tertier” dimana komposisi tenaga kerja adalah sektor primer 10%, sekunder 20% dan tertier 70%. Negara pada fase ini menggunakan teknologi tinggi pada pembuatan barang sehingga tenaga kerja di sektor sekunder harus berkurang. Pekerjaan yang memaki buruh sudah digantikan robot atau dialihdayakan ke negara lain. Pada periode pasca industri ini yang berkembang adalah sektor jasa.

Memang untuk sektor jasa ini harus dijelaskan dengan agak berbeda. Penjelasan di jaman Fourastie memang sudah tidak memadai lagi. Yang perlu juga dicatat sektor jasa saat ini tidak hanya didominasi masalah pemasaran, distribusi, turisme, namun yang juga sangat berkembang adalah desain produksi manufaktur dan pemasaran. Fenomena sekarang adalah negara maju membuat desain termasuk inovasi pemasaran, sementara untuk pembuatan manufakturnya dialihdayakan kepada negara-negara berkembang yang memiliki buruh yang murah.

Kemakmuran negara pada tahap ketiga akan lebih hebat lagi, akibat besarnya nilai tambah pada sektor ini. Kenichi Ohmae menilai bahwa proses manufaktur hanya mendapatkan 25% nilai tambah. Selebihnya nilai tambah akan diperoleh dari desain, distribusi dan pemasaran. Kurva Senyum dari pendiri Acer, Stan Shih, tentang hubungan nilai tambah (sumbu y) dengan rantai nilai barang (sumbu x) juga menguatkan hal ini. Pada bagian pinggir kurva, di kiri mewakili desain dan di kanan mewakili pemasaran nilai tambahnya lebih tinggi daripada nilai tambah pada bagian tengah kurva yang mewakili industri perakitan.

* * *

Dengan paparan ini maka setiap gagasan untuk memajukan Indonesia harus memperhatikan faktor komposisi tenaga kerja di setiap sektor. Indonesia atau rakyat Indonesia tidak akan pernah bisa makmur jika sebagian besar penduduknya tumpah ruah di sektor pertanian.

Sektor pertanian kita sudah terlalu jenuh dengan tenaga kerja. Kepemilikan lahan oleh petani sudah sangat kecil sehingga tidak bisa memberikan kesejahteraan. Sementara itu sektor industri dalam negeri tidak berkembang. Maka tidak heran penduduk desa pergi keluar negeri untuk menjadi TKI ke luar negeri untuk mendapatkan kehidupan yang layak.

Indonesia harus memiliki peta jalan untuk industrialisasi. Dulu di jaman Pak Harto melalui PELITA, sudah ada kejelasan tahapan mengolah bahan mentah menjadi bahan baku, tahapan mengolah bahan baku menjadi bahan jadi. Sebenarnya sejak tahun 1993 Indonesia sudah bisa digolongkan menjadi negara industri, karena sumbangan industri terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sudah melebihi 20%. Tapi secara keseluruhan kita tetap gagal menjadi negara industri karena sebagian besar penduduk kita masih bergerak di sektor pertanian yang bernilai tambah rendah.

Akhirnya, mengurangi jumlah petani adalah dengan mengembangkan sektor industri. Tenaga kerja Indonesia harus berpindah dari sektor primer ke sektor sekunder, dari sektor bernilai tambah rendah ke sektor bernilai tambah tinggi. Strategi ini akan meningkatkan pendapatan rakyat Indonesia secara keseluruhan.

* * * * *

No comments: