Tuesday, April 28, 2009

Resep Ekonom

Seorang ekonom itu seperti dokter. Dokter mendiagnosis penyakit, ekonom mendiagnosis masalah ekonomi. Setelah diagnosis, baik ekonom maupun dokter memberikan resep. Jika resep sesuai pasien sembuh, jika tidak sesuai pasien mati. Begitu pula ekonom, jika resep ekonominya tak manjur, suatu negara bisa masuk jurang krisis yang lebih dalam.

Baru-baru ini terjadi polemik antar ekonom Jepang versus ekonom Amerika Serikat (AS) tentang bagaimana mengatasi krisis ekonomi dunia. Keiichiro Kobayashi versus Paul Krugman.

Bagaikan koor satu suara ekonom negara-negara barat yang mengalami krisis menganjurkan pendekatan kebijakan fiskal yang meliputi pembangunan infrastruktur publik, keringanan pajak, penciptaaan lapangan kerja oleh pemerintah, dll.

Semua resep ini diturunkan dari resep Keynes. Ketika keadaan krisis, kegiatan ekonomi menurun karena permintaan yang menurun. Untuk itu mengatasi hal ini, permintaan perlu dibangkitkan dan pemerintahlah yang cocok sebagai motor penggeraknya.

Apakah krisis yang berlangsung saat ini cukup diatasi dengan stimulus fiskal?

Keiichiro Kobayashi, ekonom Jepang, yang memberikan resep baru yang berbeda dari resep ekonom barat yang semata mengandalkan stimulus fiskal.

Argumennya adalah krisis saat ini disebabkan utang yang tidak terselesaikan (bad debt). Utang ini akibat gelembung ekonomi AS yang dihembuskan oleh 2 (dua) sektor, yaitu teknologi informasi dan perumahan. Dampak dari meletusnya gelembung ekonomi sampai sekarang masih belum terselesaikan yang meninggalkan warisan berupa aset-aset yang tak menghasilkan (nonperforming asset) yang masih mengendap di bank-bank AS dan Eropa. Menurut Kobayashi krisis tak dapat diselesaikan sebelum semua masalah utang ini diselesaikan. Stimulus fiskal hanyalah penyembuhan sesaat yang hanya akan bertahan beberapa tahun. Setelah stimulus ini tidak ada, AS dan Eropa akan kembali mengalami krisis lagi.

Kobayashi memberikan suatu resep berdasarkan pengalaman Jepang. Jepang pernah mengalami krisis serupa di tahun 1990an. Pemerintah Jepang juga melakukan hal yang sama dengan upaya yang dilakukan para pemimpin dunia saat ini, yaitu dengan resep stimulus fiskal. Dengan resep ini ekonomi Jepang tidak menunjukkan gejala perbaikan. Baru setelah pemerintah Jepang membuat 2 (dua) lembaga, yaitu: Resolution and Collection Corp. (RCC) dan Industrial Revitalization Corp. of Japan (IRCJ) yang dibentuk untuk membereskan masalah utang dan merestrukturisasi perusahaan peminjam yang hampir bangkrut, baru ekonomi Jepang bisa bergerak.

Penyelesaian masalah utang akibat pecahnya gelembung ekonomi ini sangat tidak mudah dan membutuhkan waktu dan tenaga yang sangat besar. Inilah yang menyebabkan kritik ekonom barat yang menganggap penyelesaian krisis ekonomi tahun 1990 an di Jepang berjalan begitu lama. Tentu saja penyelesaian masalah utang di AS dan Eropa dalam krisis ini akan lebih lama lagi karena begitu tersebarnya masalah yang melibatkan berbagai lembaga keuangan yang tersebar di seluruh dunia.

Apakah resep ekonom Asia ini diterima begitu saja? Tentu tidak. Paul Krugman pemenang Nobel 2008 langsung menyanggahnya. Krugman menunjukkan grafik bahwa pemulihan ekonomi Jepang tahun 2003 – 2007 disebabkan oleh ekspor yang pada gilirannya berperan meningkatkan konsumsi. Lalu apa peranan bank dalam pemulihan ini?

Sanggahan ini langsung dijawab dengan kontan Kobayashi, kalau semata soal ekpor berperan dalam pemulihan ekonomi Jepang, lalu mengapa kejadian ini tidak terjadi pada akhir tahun 1990 dimana dua mitra dagang Jepang yaitu AS dan Cina mengalami pertumbuhan yang cepat dan permintaan barang Jepang dari kedua negara ini juga besar. Setelah masalah pemindahan aset-aset beracun beres, barulah Jepang bisa meningkatkan ekspornya lagi. Maka faktor utama adalah penyelesaian masalah utang dan pemindahan aset beracun peninggalan pasca meletusnya gelembung ekonomi.

Krugman menjawab kembali Kobayashi dengan menyajikan tabel data sumbangan investasi – sebagai wujud sembuhnya sektor perbankan – terdapat Produk Domestik Bruto (GDP) dan neraca perdagangan – sebagai wujud kinerja ekspor – dari tahun 1992 - 2007. Dari grafik itu terbukti bahwa peran investasi terus menurun, sementara peran ekspor meningkat. Adapun Krugman ingin ditunjukkan dengan data bahwa di tahun 1990, Jepang tidak bisa memanfaatkan peluang ekspor karena perusahaan kesulitan mendapatkan kredit dari bank. Dan sampai tulisan ini dibuat, belum ada jawaban dari Kobayashi.

* * *

Polemik antar ekonom ini adalah penegasan, ekonomi sama sekali bukan sekedar hitungan matematika. Kebijakan ekonomi apalagi untuk menghadapi krisis bukanlah perumusan yang mudah. Ada terlalu banyak faktor terkait yang kompleks yang harus dicermati untuk membuat resep. Makanya tidak berlebihan kalau dikatakan ilmu ekonomi telah mati, karena banyaknya teori yang ada tidak memadai lagi untuk menghadapi tantangan masa kini.

Kobayashi belum tentu benar, begitu juga dengan Krugman. Tapi yang penting dicatat Kobayashi memberikan analisis terhadap suatu kebijakan yang baru akan atau sedang dilaksanakan di tahap awal, bukan analisis suatu yang telah terjadi. Dan Kobayashi berani memberikan resep baru yang menantang.

Indonesia telah mengalami pengalaman pahit dengan menerima resep IMF bulat-bulat. Boro-boro sembuh, justru krisis tambah tak terkendali dan malah Pak Harto sebagai pasien terjungkal dari kekuasaannya. Kita sangat membutuhkan ekonom-ekonom dengan resep brilian ditunjang dengan analisis yang kuat yang mungkin berbeda dengan arus utama resep ekonom barat.

* * * * *

Bahan-bahan:

1. http://www.voxeu.org/index.php?q=node/3385
2. http://krugman.blogs.nytimes.com/2009/04/02/japans-recovery/
3. http://www.asahi.com/english/Herald-asahi/TKY200904220066.html
4. http://krugman.blogs.nytimes.com/2009/04/27/japans-recovery-again/

No comments: