Monday, July 13, 2009

Duitnya Dari Mana?

Dalam debat pilpres yang paling sering diutarakan adalah janji politik yang berhubungan dengan pengeluaran pemerintah. Padahal yang juga penting kita ketahui adalah darimana dana untuk membiayai pengeluaran tersebut.

Dalam debat cawapres 30/6 yang lalu, salah seorang kandidat memberikan ungkapan menarik soal dari mana asal uang pembiayaan negara untuk kesejahteraan rakyat. Sebelumnya Dekan Fakultas Ekonomi UI, Firmanzah, juga menulis pada salah satu media tentang masalah serupa. Banyak orang bisa bicara tentang alokasi anggaran, sisi pengeluaran, tapi bagaimana dengan sisi pemasukannya? Sungguh gampang mengatakan alokasi pengeluaran pendidikan 20% APBN, alokasi pengeluaran militer 3%-5% PDB dan lain sebagainya, tapi apakah dana yang kita miliki cukup untuk membiayai semua itu?

Menurut hemat saya masalah sisi pembiayaan ini adalah paling menarik untuk dibicarakan. Seharusnya tema pembiayaan pemerintah ini harus menjadi tema utama debat capres setelah tema visi. Semua visi bagus capres tidak akan pernah terlaksana, kalau tidak ada dana untuk membiayainya.

* * *

Pada debat cawapres tersebut, salah satu kandidat sudah mengungkapkan cara untuk mendapatkan dana, yaitu menjadwalkan kembali pembayaran cicilan utang yang berjumlah kurang lebih 100 trilyun per tahun. Namun ini dibantah oleh kandidat lain, bahwa proses penjadwalan utang tidak akan semudah itu.

Sebenarnya hal ini sangat menarik untuk dieksplorasi lebih lanjut apakah benar utang bisa dengan cepat dijadwal ulang ataukah tidak. Tentu saja, menurut hemat saya, utang bisa dijadwal ulang asalkan kita mau melakukannya. Sering kali pemikiran penyelenggaraan negara sangat terkungkung oleh dogma yang ada. Ketika Evo Morales melakukan nasionalisasi industri migas yang bertentangan dengan 'pakem' internasional, ternyata juga berhasil. Korporasi asing tunduk.

Masalah-masalah perbedaan keyakinan berdasarkan argumentasi inilah yang perlu hadir di acara debat. Mungkin tidak ada yang bisa memastikan mana yang benar, namun di sinilah kekuasaan rakyat untuk mempercayai langkah calon yang mana yang paling masuk akal.

* * *

Pada dasarnya wacana tentang penghematan biaya sudah banyak beredar dalam berbagai diskusi dan tulisan media massa. Paling tidak ada 3 bidang yang bisa dilakukan untuk melakukan penghematan, yaitu: (i) penyederhanaan pemilu, (ii) penghematan pada operasional pemerintah, (iii) efektifitas pemerintahan.

Pertama, pemilu kita menghabiskan dana yang luar biasa. Untuk pemilu 2009 ini saja menghabiskan dana Rp. 47,9 trilyun. Ini belum termasuk pilkada di daerah-daerah untuk memilih gubernur dan bupati di seluruh Indonesia. Jika ada kemauan politik kita bisa menyelenggarakan pilkada cukup di tingkat gubernur, sedangkan bupati dipilih oleh gubernur. Selain menghemat biaya sistem ini akan membuat kebijakan pada provinsi akan lebih koheren. Dengan sistem sekarang bupati bisa membuat kebijakan yang bertolak belakang dengan visi gubernur.

Untuk pilpres 1 putaran sudah ada metode yang bisa melakukannya, yaitu; instant-runoff voting (IRV). Dan akan lebih hemat lagi jika pilpres dan pilkada gubernur disatukan pada hari yang sama.

Kedua, perampingan pemerintahan. Perampingan pemerintahan juga sangat membantu penghematan biaya. Jumlah departemen harus dibatasi dan pemekaran wilayah harus dihentikan.

Euforia demokrasi menghasilkan pemekaran wilayah yang serampangan. Data dari Departemen Keuangan, Dirjen Perimbangan Keuangan menunjukkan anggaran untuk daerah baru meningkat dari Rp 8,09 triliun pada 2007 menjadi Rp 14,272 triliun pada 2009. Ada 48 daerah yang memiliki anggaran belanja pegawai sekitar 70 persen dari total APBD-nya, bahkan ada yang 87 persen. Ini berarti pemerintaha daerah tidak bisa hidup tanpa APBD, sementara rakyat bisa hidup tanpa APBD. Jika APBD hanya untuk membiayai pemerintah daerah, maka alangkah lebih baiknya anggaran untuk operasional daerah pemekaran itu di-BLT-kan saja kepada rakyat daerah pemekaran itu.

Ketiga, taktik pengelolaan APBN. Rizal Ramli mengusulkan agar belanja modal seperti kantor dan kendaraan pemerintah dilakukan dengan sistem sewa, bukan pembelian. Jika membeli barang, maka akan butuh perawatan, sedangkan kita termasuk bangsa yang kurang pandai merawat barang. Dengan menyewa maka beban APBN akan berkurang dan biaya perawatan bisa dihilangkan.

Jika wacana mencari dana bagi pemerintah ini diteruskan, maka pasti akan kita temukan alternatif-alternatif.

Akhirnya, janji hanya bisa direalisasikan kalau dana yang tersedia mencukupi. Rakyat sangat perlu mengetahui bagaimana capres bisa memobilisasi dana pembangunan. Semua langkah konkrit itu sebaiknya diumumkan dan biarlah rakyat menilai masuk akal atau tidak langkah itu.

Tanpa kejelasan dana, visi dan janji-janji capres itu cuma omong kosong belaka.

* * * * *

No comments: