Thursday, October 23, 2008

Kapitalisme dan Inovasi

Inovasi adalah lokomotif peradaban. Inovasi adalah DNA negara maju. Namun ternyata inovasi berupa perbaikan produk maupun penciptaan produk hanya bisa tumbuh subur pada sistem kapitalisme. Mengapa demikian?

Hal ini bisa dimulai dari kritik ekonom Austria, Ludwig Von Mises dan Friedrich Hayek terhadap ekonomi sosialis. Sistem ekonomi sosialis yang mengandalkan perencanaan itu tidak akan pernah bisa bekerja, karena masalah kalkulasi ekonomi (economic calculation problem). Penempatan sumber daya yang paling efisien dan langsung berhubungan dengan pasar, hanya bisa dilakukan di level individu atau kelompok individu. Karena keadaan pasar begitu kompleks, maka ekonomi sosialis dengan perencanaan terpusat pasti tidak akan berjalan.

Untuk maju maka pasar harus berkembang. Alat pengembangan pasar yang paling efektif adalah inovasi. Tanpa inovasi, pertukaran barang tidak akan berkembang. Dari pengembangan pasar ini terlihat perbedaan yang mencolok antara negara sosialis dengan negara kapitalis.

Ciri khas negara sosialis adalah terdiri barang-barang tua, sedikit variasi dan jasa yang ada itu-itu saja. Sementara di negara kapitalisme, walaupun pada awalnya barang dan jasa sangat sedikit variasinya, namun dengan pasar yang digerakkan individu dan kompetisi menghasilkan produk dan jasa, makin lama barang dan jasa makin bervariasi.

Produk barang dan jasa yang bisa bervariasi – melalui inovasi – ini merupakan pangkal kesalahan ramalan Karl Marx. Dia meramalkan kapitalisme akan runtuh, karena produksi kapitalisme akan membanjiri pasar. Hukum penawaran-permintaan akan membuat harga barang akan turun. Persaingan antar kapitalis menuntut mereka menekan biaya produksi. Upah buruh akan diturunkan, sehingga buruh akan menderita. Dan revolusi pecah.

Karl Marx salah! Ternyata revolusi kapitalisme tak pernah pecah karena dua hal, yaitu: 1) pada waktu itu pasar bisa diperluas melalui imperialisme, 2) pasar bisa diciptakan melalui inovasi. Walaupun demikian perluasan pasar secara geografis tetap ada batasnya. Maka satu-satunya jalan untuk memperluas pasar secara terus menerus adalah dengan inovasi.

Inovasi muncul karena kompetisi. Persaingan antar kapitalis di pasar yang terbatas menghasilkan pihak yang menang dan kalah. Pihak yang menang akan melakukan inovasi untuk mempertahankan pangsa pasar. Sedangkan pihak yang kalah akan melakukan inovasi menbuat produk barang dan jasa yang berbeda sebagai upaya bertahan hidup.

Secara empiris, kita bisa melihat contoh yang terjadi di Intel. Pada mulanya Intel menguasai pangsa pasar produksi memori komputer. Sejalan dengan waktu, teknologi memori bisa ditiru perusahaan lain. Akhirnya perusahaan-perusahaan Jepang yang terkenal sangat efisien berhasil merebut pangsa pasar Intel. Sebagai pihak yang kalah dalam persaingan, mau tidak mau Intel harus melakukan sesuatu untuk bertahan hidup. Itu adalah inovasi!

Inovasi yang dilakukan Intel adalah dengan berpindah fokus ke bisnis prosesor komputer. Di sektor prosesor inilah Intel melakukan inovasi habis-habisan, yang pada akhirnya menguasai pangsa pasar. Karena teknologi komputer terus berkembang, untuk mempertahankan pasar, maka Intel melakukan inovasi terus menerus. Maka muncullah generasi-generasi prosesor pentium.

Selain untuk mempertahankan pangsa pasar, inovasi juga diperlukan para kapitalisme itu untuk mempertahankan atau meningkatkan pendapatannya. Barang dan jasa yang diciptakan selalu mudah ditiru oleh pesaing. Barang dan jasa itu menjadi komoditi dengan penawaran yang terus menerus meningkat dan harga yang turun. Untuk mempertahankan profit atau mempertahankan harga, maka barang yang ditambah nilainya. Dan untuk itu diperlukan inovasi!

Akhirnya, secara ringkas dapat kita urutkan sebagai berikut: kapitalisme yang membebaskan individu menjalankan ekonomi akan menimbulkan persaingan. Hasil persaingan itu, baik yang menang maupun yang kalah, akan menghasilkan inovasi yang terus menerus. Inovasi ini akan menghasilkan barang dan jasa yang makin lama makin bervariasi. Dengan demikian pasar akan terus berkembang dan akhirnya berujung pada kemakmuran rakyat.

2 comments:

prastowo said...

Mas Erwin,
Karena Karl Marx bukan ahli nujum, maka ia bisa keliru, krn ahli nujum pun bisa keliru. Jangankan Anda, para pemikir sosialis pasca Marx pun menyadari determinsime Marx sebagai sebuah kelemahan. Tapi membaca Marx mungkin lebih bijak jika dibaca dlm konteksnya, karena akan sulit membaca sebuah teori sosial secara ahistoris. Marx lebih tepat secara ekonomi dibaca sejajar dg Ricardo, Owen, atau Mill.
Mengadili pemikiran Marx dg pemikiran sekarang hemat saya tidak bijak, jika tidak dibilang distortif.
karya Marx yang ditemukan belakangan, dan diterbitkan edisi Inggrisnya tahun 1940-an Grundrisse, bahkan dlm banyak isinya berbeda dg Das Capital, ia tidak deterministik, dan dlm banyak hal menunjukkan sisi humanisme Marx.

Pertanyaan saya, jika masing2 individu digerakkan secara self-interested berkompetisi utk memenuhi kebutuhan sekaligus mencapai profit, bagaimana lalu yang individual ini pada ujungnya secara niscaya akan menghasilkan agregat bagi kemakmuran bersama?
Adakah model matematis bisa menjelaskan rumusan ini, yang dlm pembacaan saya pada karya Smith The Wealth of Nations, memaksa Smith memasukkan the invisible hand utk menjamin sistem fisika ekonominya bisa berjalan dg tertib.

salam,

pras

Erwin Wirawan said...

Mas Pras,

Thank you udah mau mampir.

1) Saya selalu kagum dengan Marx walaupun dia salah. Tapi ya kesalahan tetap kesalahan.

2) Soal kompetisi --> kemakmuran bersama.

a. Rumus matematika. Saya percaya Ludwig von Mises ekonom Austria itu. Ekonomi itu adalah ilmu tentang tindakan manusia yang yang mungkin diperlakukan seperti fisika.

Anda tentu tahu Scholes dan Merton pemenang Nobel Ekonomi yang menangani perusahaan hedge fund LTCM yang penuh dengan matematika yang akhirnya gagal total dan bangkrut.

b. Bukti empiris menunjukkan negara kapitalis itu sejahtera. Koq kompetisi, alih2 mematikan justru malah mensejahterakan? Karena ternyata imajinasi manusia tak terbatas! Manusia entah gimana selalu punya cara untuk bertahan hidup.

Contohnya kompetisi global. Saya pernah bilang AS itu juga babak belur dengan globalisasi. Kompetisi meluas ke seluruh dunia. Tidak semua orang AS bisa menang kompetisi. GM dihajar Toyota, sebagian pekerjaan diambil orang India. Tp toh orang di AS masih bisa bertahan. Itu karena di sana, negara bisa menciptakan iklim yang cocok dengan kreativitas untuk inovasi sehingga bisa menghasilkan pekerjaan2 baru, menggantikan pekerjaan yang hilang.

Terlihat kompetisi tidak membunuh, justru win win solution.

salam