Monday, October 13, 2008

Kapitalisme Kreatif

Kapitalisme kreatif ini makin mengemuka setelah digemakan oleh Bill Gates awal tahun ini. Sebenarnya kapitalisme jenis ini bukan hal baru. Ini sudah dilaksanakan beberapa abad lalu, semenjak pengusaha Inggris Robert Owen memberikan perhatian kepada pekerjanya dan bukan semata mencari keuntungan.

Argumen filantrofi dari kapitalisme kreatif adalah kapitalisme telah mensejahterakan banyak orang. Sementara banyak orang lain masih menderita kemiskinan ataupun mati karena penyakit yang sebetulnya dapat dicegah. Namun bagaimana kapitalisme dapat masuk ke wilayah ini? Bukankah sistem ini yang mengutamakan pencarian keuntungan sebesar-besarnya? Kapitalisme bukanlah kerja amal.

Bukti menunjukkan di kalangan orang miskin terdapat pasar yang sangat besar. Pasar ini sebenarnya potensial, tapi membutuhkan kreatifitas untuk menerapkan kapitalisme di sini. Beberapa perusahaan telah melakukan hal ini. Misalnya perusahaan telpon seluler di Kenya Safaricom yang melayani penduduk yang relatif miskin untuk penggunaan telepon genggam. Dengan adanya telepon genggam ini aktifitas ekonomi penduduk bisa meningkat. Dimana letak kreatifnya? Pada contoh safaricom adalah tarif layanan diterapkan per detik bukan per menit. Dengan tarif seperti ini telpon menjadi lebih terjangkau. Dan masyarakat miskin bisa menggunakan sarana komunikasi ini untuk meningkatkan aktifitas bisnis mereka.

Tentu saja tidak semua skema seperti bisa dilakukan. Misalnya penelitian obat malaria. Orang miskin yang butuh obat malaria tidak punya insentif apapun yang bisa dibayarkan kepada pabrik obat. Salah satu jalan untuk skema ini adalah dengan iklan bagi perusahaan penyedia obat. Dengan iklan ini maka perusahaan akan mendapat nama baik dan menarik pelanggan yang terkesan lebih banyak.

Namun pemerintah juga bisa berperan dalam skema seperti ini. Misalnya yang terjadi di Amerika Serikat. Pemerintah memberikan insentif prioritas pelayanan lebih cepat bagi perusahaan obat yang terlibat dalam pengembangan obat untuk penyakit seperti malaria. Jadi perusahaan mendapat insentif keuangan di sini.

***

Tentu saja kapitalisme bergaya amal ini ditentang, terutama oleh orang kapitalisme garis keras seperti, Milton Friedman. Bagi Tuan Friedman tugas perusahaan cuma satu, yaitu mencari profit sebesarnya untuk pemegang saham. Kerja lain di luar itu adalah penghianatan. Dengan profit itu, pemegang saham boleh menggunakannya untuk apa saja, termasuk kegiatan amal. Namun keputusan ini sepenuhnya diserahkan oleh pemegang saham, bukan eksekutif.

Tidak ada yang salah dengan Tuan Friedman ini. Kalau kita lihat, misalnya perjalanan bisnis Bill Gates. Bukankah Bill Gates sepenuh mencurahkan energi untuk mencari profit sebesar2nya, tanpa dibebani oleh kegiatan amal? Setelah kaya baru Bill Gates mendirikan badan amal.

Akhirnya dapat kita simpulkan di sini, sebagai berikut:

1.Pada skema tertentu, misalnya untuk perluasan pasar di antara warga miskin yang memang terbukti ada, kapitalisme bisa merambah masuk. Walaupun profit awal kecil, namun pembukaan pasar ini – dengan memperkenalkan teknologi yang memudahkan bisnis - dapat mengundang pasar yang lebih besar.
2.Pada bidang yang bukan pasar orang miskin seperti misalnya pengobatan malaria, pemerintah bisa memberikan insentif bagi perusahaan yang melakukannya. Baik melalui iklan, maupun insentif keuangan berupa prioritas bagi perusahaan tersebut untuk suatu urusan yang berkaitan dengan finansial.
3.Kerja sosial tidak bisa membebankan keuangan pada perusahaan, karena bertentangan prinsip utama kapitalisme, yaitu keuntungan maksimal bagi perusahaan. Karena semangat inilah yang membuat kapitalisme mensejahterakan banyak orang.

No comments: